Senin, 07 Januari 2013

TEKNOLOGI PENETASAN UNGGAS DAN PEMBIBITAN TERNAK

TEKNOLOGI PENETASAN UNGGAS DAN MANAJEMEN PEMBIBITAN TERNAK

LAPORAN PRAKTIKUM
PENEASAN TELUR ITIK LOKAL






PIPIT ANGGRAENI
D1 B4 09 088



JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini peningkatan akan kebutuhan daging terus meningkat, dimana peningkatan kebutuhan ini terjadi seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan kesadaran masyarakat tentang ilmu pengetahuan akan pentingnya gizi bagi tubuh. Tidak terkecuali pada kebutuhan daging itik dimana dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, seiring dengan permintaan akan daging yang terus meningkat.
Itik merupakan salah satu komoditas yang memiliki potensi dan peran yang cukup stategis dalam penyediaan protein hewani yang mudah didapat dan dengan harga terjangkau. Indonesia memiliki banyak jenis itik yang sebagian besar populasinya berada di perdesaan dan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Salah satu itik lokal yang cukup dikenal dan berpotensi adalah itik Alabio (Anas platyrhincos Borneo) yang banyak dipelihara dan dibudidayakan masyarakat di daerah Kalimantan Selatan dan terutama di daerah sentra yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Itik Alabio yang diusahakan utamanya berperan sebagai penghasil telur baik telur tetas maupun telur konsumsi.
Namun setiap makhluk hidup memiliki kecenderungan untuk mempertahankan populasinya dengan cara yang berbeda dengan menetaskan telurnya. Untuk itu cara untuk mempertahankan populasi yaitu dengan program pembibitan melalui penetasan secara buatan/konvensional maupun secara modern, sehingga mampu meningkatkan jumlah telur dengan produksi tinggi.
Namun banyak faktor yang mempengaruhi proses penetasan, salah satu diantaranya adalah telur tetas. Telur tetas yang akan ditetaskan sebaiknya sudah terseleksi sesuai dengan syarat telur tetas , sebab telur tetas akan mempengaruhi tingkat fertilitas, perkembangan embrio hingga daya tetas telur. Oleh karena itu dilakukan dilakukanlah praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas pada Telur Itik Alabio dengan menggunakan mesin tetas tradisional.
1.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum
Tujuan dari pelaksanaan praktikum ini yaitu untuk mengetahui persentase fertilitas, daya hidup embrio, dan daya tetas telur itik lokal.
Manfaat dari pelaksanaan praktikum ini yaitu Sebagai sumber informasi yang berkaitan mengenai daya fertilitas, daya hidup embrio dan daya tetas pada telur itik Alabio. Selain itu mahasiswa mengetahui cara menetaskan telur itik yang dimulai dari persiapan telur tetas, tahap proses penetasan hingga sampai telur menetas.




II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Itik Lokal
Itik lokal adalah salah satu jenis itik yang banyak diternakkan dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Jenis itik lokal adalah itik bali, itik mojosari, itik magelang, itik tegal, itik rambon dan itik alabio ( Anonim, 2012).
Sistem pemeliharaan itik tidak membutuhkan waktu yang lama dan tahan terhadap penyakit sehingga hanya dalam waktu 4-6 bulan sudah mulai berproduksi menghasilkan telur, ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya relative baik dan sampai pada umur 8-10 bulan mencapai puncak produksinya serta pada umur 11-15 bulan produksinya sudah mulai menurun sehingga umur produksi ini sudah dapat dilakukan pengafkiran (Murtidjo, 1987).
2.1.1. Itik Bali
Menurut Agus (2001) dalam Anonim (2012) menyatakan bahwa itik Bali (Anas sp.) adalah itik yang berkembang di Pulau Bali dan Lombok. Itik bali mempunyai daya tahan hidup yang sangat tinggi sehingga dapat dipelihara di berbagai tempat di Indonesia. Sosoknya hamper sama dengan itik jawa, tetapi lehernya lebih pendek dan bagian belakang tubuhnya tidak terlalu leabar. Warna bulunya lebih terang dibandingkan dengan itik jawa. Ada tiga macam bulu itik bali yang biasa ditemukan yaitu warna sumbingan (menyerupai warna jerami padi), cemaning (kombinasi warna hitam dan putih ), dan selam gulai.
Secara lengkap, ciri-ciri dan sifat itik bali adalah postur tubuhnya langsing berisi dan hampir berdiri tegak seperti burung penguin dengan ekor relative pendek, berat standar itik jantan 1,8-2 kg, sementara betinanya 1,6-1,8 kg, paruh dan kaki berwarna au-abu kehitaman, umumnya memiliki jambul dan bentuk lehernya kecil memanjang, bersifat tidak mengerami telurnya sendiri, produktivitas telur mencapai 220 butir / ekor / tahun, berat telur 59 gram / butir, cangkangnya lumayan tebal dan hijau keabuan atau putih kebiruan, mulai bertelur 6-7 bulan.
2.1.2. Itik Mojosari
Menurut Sohibbul (2008) bahwa itik Mojosari merupakan salah satu itik petelur unggul lokal yang berasal dari Kecamatan Mojokerto Jawa Timur lebih spesifiknya lagi dari desa Modopuro Mojosari Mojokerto. Saat ini itik Mojosari telah tersebar di wilayah Indonesia. Itik ini berproduksi lebih tinggi dari pada itik Tegal. Itik Mojosari berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial, baik pada lingkungan tradisional maupun intensif.
Ciri-ciri itik Mojosari, antara lain yaituWarna bulu kemerahan dengan variasi coklat kehitaman, pada itik jantan ada 1-2 bulu ekor yang melengkung ke atas, warna paruh dan kaki hitam, berat badan dewasa rata-rata 1,7 kg, produksi telur rata-rata 230-250 butir/tahun, berat telur rata-rata 65 gram, warna kerabang telur putih kehijauan
2.1.3. Itik Alabio
Itik alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), dan Hulu Sungai Utara (HSU). Populasi itik alabio di Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat 3.487.002 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2006).

Gambar 4. Itik Alabio (Anonim, 2011)
Ciri-ciri dari itik Alabio, antara lain yaitu warna bulu coklat abu dengan bintik-bintik putih di seluruh badan dengan garis putih di sekitar mata. Pada jenis jantan, warna bulu cenderung gelap, sayapnya terdapat beberapa helai bulu suri berwarna hijau kebiruan mengkilap, warna paruh dan kaki kuning terang, berat badan bobot badan betina umur 6 bulan 1,60 kg dan jantan 1,75 kg, produksi telur rata-rata 220-250 butir/ekor/tahun, berat telur rata-rata 59-65 g/butir, warna kerabang telur putih kehijauan, bobot badan umur 8 minggu= 981-1.152 gr/ekor, bobot DOD 45-49 gr/ekor (Anonim, 2011)
2.2. Seleksi Telur Tetas
Pada dasarnya salah satu faktor yang mempengaruhi proses penetasan adalah penyeleksian telur. Seleksi telur tetas merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memilih telur tetas yang memenuhi persyaratan untuk ditetaskan. Seleksi telur dilakukan oleh peternak pada dasarnya untuk menghindari kegagalan dalam penetasan telur yang akan mengkibatkan kerugian. Dimana telur yang akan ditetaskan harus disortasi terlebih dahulu untuk memisalahkan telur yang berkualitas dengan telur yang tidak berkualitas atau cacat.
Telur tetas yang baik yang bisa dijadikan bibit atau bisa ditetaskan memiliki ciri-ciri antara lain: 1) kulit telur tampak bersih dan tidak cacat (seperti retak atau pecah), 2) kulit telur tidak tampak terlalu tipis, 3) bentuknya oval (bulat lonjong) dengan perbandingan lebar dan panjang 3:4. Telur yang terlalu lonjong atau bulat daya tetasnya rendah, 4) ukuranya seragam (normal, tidak terlalu kecil, atau terlalu besar). Bobot normalnya antara 35-40 g, dan jika kurang dari 35 g maka bibit yang dihasilkan berukuran kecil dan lambat pertumbuhannya. Sedangkan telur yang bobotnya lebih dari 40 g, daya tetasnya rendah karena sering mati sebelum keluar dari cangkang, 5) pada bagian dalam bulatan telur yang tumpul terdapat ruang udara yang masih utuh seperti saat dikeluarkan dari induknya. Ruang udara itu dapat dilihat dengan menyerotkan lampu senter, 6) telur berasal dari induk betina yang di kawini oleh pejantan yang baik dan sehat, dan 7) telur tidak disimpan lebih dari 6 hari. Penyimpanan sebaiknya dilakukan pada tempat yang bersuhu sedang atau tidak terlalu lembab (Sujionohadi dan Setiawan, 2007).
Telur tetas yang baik adalah telur yang memiliki daya tetas tinggi. Daya tetas yang tinggi dapat dilihat dari nilai indeks telur. Indeks telur adalah perbandingan lebar maksimal dengan panjang maksimal telur dikalikan dengan 100%. Nilai indeks telur sebesar 74% berarti telur memiliki daya tetas yang paling tinggi. Dengan demikian, bentuk telur yang akan digunakan dalam penetasan janganterlalu bulat atau terlalu lonjong. Kisaran nilai indeks telur sebesar 74% akan mempermudah dalam pengepakan telur. Nilai Indeks Telur bervariasi antara 65-82 dimana yang ideal berkisar antara 69-77 % (Abidin 1999).
2.3. Teknologi Penetasan
Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai pecah menghasilkan anak. Dimana penetasan dapat dilakukan secara alami oleh induk atau secara buatan (artificial) menggunakan mesin tetas. Bagi beberapa spesies, penetasan secara alami merupakan cara penetasan paling efisien. Namun, bagi ayam, kalkun, dan itik, cara penetasan buatan lebih menguntungkan untuk tujuan ekonomis. Tingkat keberhasilan penetasan buatan tergantung dari banyak faktor, antara lain telur tetas, mesin tetas, dan tatalaksana penetasan (manajemen). (Suprijatna, 2008).
Dalam tata laksana penetasan telur itik dikenal dua cara yaitu 1) cara tradisional, cara ini termasuk salah satu cara yang praktis, ekonomis dan menghasilkan indeks tetas yang tinggi. Penetasan dapat menggunakan ayam atau entog yang sedang mengeram. Kelemahannya, jumlah telur sangat terbatas dan harus bersamaan dengan waktu mengeram ayam atau enthog. Menetaskan telur itik dengan bantuan ayam hanya mempunyai kapasitas 10 butir per ekor. Pengeraman dengan cara ini memerlukan waktu 28 hari, terhitung mulai saat telur pertama kali dierami, 2) cara modern, cara ini merupakan usaha penetasan dengan menggunakan alat penetasan. Keistimewaannya, penetasan dapat dilakukan setiap saat dan dalam jumlah yang banyak, tetapi pelaksanaannya memerlukan keterampilan khusus supaya bisa menghasilkan angka tetas yang tinggi (Murtidjo, 1993).
2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penetasan
2.3.1.1 Temperatur
Embrio akan berkembang bila temperatur udara disekitar telur minimal 70oF (21,11oC) namun perkembangan ini sangat lambat. Di bawah temperatur udara ini praktis embrio tidak mengalami perkembangan, sehingga penyimpanan telur tetas sebaiknya sama atau di bawah temperatur tersebut (Jasa, 2006). Berdasarkan hal tersebut, temperatur lingkungan mesin tetas harus diatur sesuai dengan kebutuhan proses penetasan.
Temperatur embrio harus sesuai dengan kondisi penetasan alami dengan menggunakan induk. Jasa (2006) menyatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan embrio adalah berkisar diantara 35 – 37oC. Hal yang dilakukan supaya embrio dapat berkembang dengan baik maka suhu di dalam ruang penetasan diatur dengan kisaran suhu 95 – 104oF, untuk menjamin embrio mendapatkan suhu yang ideal untuk perkembangan yang normal. Saat ini, penetasan telur itik di Pedesaan masih banyak yang menggunakan induk untuk menetaskan telur. Hal ini dirasa kurang efektif karena jumlah telur yang dapat ditetaskan per induk relatif sedikit, yaitu hanya berkisar antara 5 - 10 telur. Sementara kebutuhan konsumsi telur dan daging terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, sehingga dibutuhkan suatu teknologi untuk dapat menetaskan telur itik sesuai dengan permintaan.
Perkembangan embrio akan mengalami istirahat atau tidak berkembang pada kondisi temparatur tertentu, hal ini disebut physiological zero. Temperatur tersebut adalah 75oF (23,6oC). Telur ayam akan menetas pada penetasan buatan (menggunakan mesin tetas) bila tersedia temperatur sekitar 95-105oF (35-40,5oC). Diantara temperatur tersebut terdapat temperatur optimal, dimana dihasilkan perkembanagan embrio terbaik pada 19 hari pertama penetasan, temperatur optimal lebih tinggi dibandingkan dua hari terakhir penetasan (Suprijatna dkk., 2005).
Dua masa paling kritis dalam kehidupan embrio yang sedang ditetaskan terjadi pada umur 2-4 hari (24-96 jam) dan 19 -20 hari (pada saat anak ayam berusaha memecahkan kulit telur). Oleh sebab itu, waktu untuk candling (peneropongan telur) dan transfer telur dari setter ke hetcher (saat telur berada di luar mesin tetas) yang dilakukan pada hari ke 19 sebaiknya tidak lebih dari 30 menit. Selain itu fumigasi di inkubator/setter sebaiknya tidak dilakukan hari ke dua (24 jam) sampai hari ke empat (96 jam) dari saat telur masuk kemesin tetas. Untuk mendapatkan hasil tetas yang lebih tinggi, transfer dari setter ke hitcher dilakukan pada saat 5% telur mulai retak (Sudaryani, dkk., 2004). Pengaruh suhu terhadap lama waktu penetasan dapat dilihat pada Tabel 1.
Penghambatan pertumbuhan embrio terjadi karena berhubungan dengan hal-hal berkut: (1) pengurangan pertukaran gas, kegagalan chorioallantois menjadi garis permukaan yang lengkap pada membran kerabang dalam; (2) pengurangan perluasan daerah vaceculosa, pembatasan pengambilan nutrien oleh embrio, dan (3) kegagalan embrio dalam menggunakan sisa albumen (Tullett dan Burton, 1987). Willson (1991) menyatakan bahwa pemutaran telur sebaiknya dilakukan setiap jam sekali dan dihentikan pada hari ke delapan belas inkubasi.
Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap lama waktu penetasan
Temperatur (oC) Waktu tetas telur (hari)
36,1 22,5
36,7 21,5
37,3 21,0
38,9 19,5
Sumber: Sudaryani, dkk., (2004).
2.3.1.2 Kelembaban
Selama penetasan berlansung diperlukan kelembaban yang sesuai dengan perkembangan embrio. Kelembaban nisbi yang umum untuk penetasan telur ayam sekitar 60-70%. Kelembaban juga dipengaruhi proses metabolisme kalsium (Ca) pada embrio. Saat kelembaban nisbi terlalu tinggi, perpindahan Ca dari kerabang ketulang-tulang dalam perkembangan embrio lebih banyak. Pertumbuhan embrio dapat diperlambat oleh keadaan kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Sedangkan pertumbuhan embrio optimum akan diperoleh pada kelembaban nisbi mendekati 60%. Mulai hari pertama hingga hari kedelapan belas kelembaban nisbi yang diperlukan sebesar 60%, sedangkan untuk hari-hari berikutnya diperlukan 70%. Biasanya, kelembaban dapat diatur dengan memberikan air ke dalam mesin tetas dengan cara meletakannya dalam wadah ceper (Paimin, 2001).
Kelembaban udara yang diukur dengan hygrometer di dalam ruang inkubator haruslah dijaga pada pembacaan menggunakan hygrometer pada kisaran 55-60% untuk 18 hari pertama di incubator, dan 65-70% untuk 3 hari berikutnya. Hal ini menjadi penting karena ke tidak akuratan dalam penerapan kelembaban udara dapat mempengaruhi secara signifikan keberhasilan dalam penetasan telur. Bila kelembaban udara terlalu rendah maka akan terjadi peningkatan penguapan udara dari kulit telur yang kemudian dapat menyebabkan embrio ayam tidak kuat memecah kulit telur karena lapisan/selaput bagian dalam telur menjadi keras. Dalam hal demikian maka penambahan sebuah nampan dan diisi air diperlukan untuk mencapai kisaran angka yang diperlukan. Sebaliknya jika kelembaban udaranya terlalu tinggi maka penurunan kelembabannya dapat dengan cara mengganti nampan dengan yang lebih kecil atau menutupi sebagian permukaan
Kelembaban di inkubator/setter 52-55% (setara dengan 28,9 oC-29,4 oC pada bola basah thermometer), sedangkan kelembaban pada hitcher mula-mula 52-55%. Apabila 1/3 dari jumlah telur di dalam hicher telur retak, maka kelembaban dinaikan menjadi 70-75% (32,8-33oC) pada bola basah thermometer), untuk mendapatkan data kelembaban di dalam setter maupun hitcher, maka setiap saat kain kaos yang terdapat pada bola basah thermometer harus dibersihkan agar kain kaos tidak mengeras karena kalsium, maka untuk mengecek thermometer bola basah dipakai air minum/air destrilisasi. Untuk itu, dapat dipakai air hujan/aguades supaya tidak terjadi gangguan kelembaban pada hicher. Gangguan kelembaban ini dapat menyebabkan kegagalan pembukaan pintu hitcher pada saat telur mulai pecah kulit dan anak ayam mulai menyampul (Sudaryani dan Santosa, 2003).
2.3.2. Peubah Dalam Penetasan Telur
2.3.3.1 Fertilitas
Faktor-faktor yang mepengaruhi fertilitas adalah motilitas sperma, ransum, hormon, lama penyinaran, umur, produksi telur, preferential mating, musim, perbandingan jumlah jantan dan betina dan lamanya jantan berada dalam kandang.
Desinfektan tidak langsung mempengaruhi fertilitas, faktor yang langsung mempengaruhi fertilitas adalah kondisi semen, kandungan gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan-betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas (North dan Bell, 1990).
Nurhayati dkk. (2000) menyatakan bahwa agar telur dapat menetas jadi anak, telur tersebut harus dalam keadaan fertil. Telur tetas merupakan telur yang telah dibuahi oleh sel kelamin jantan. Fertilitas adalah persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam satu penetasan.
Telur unggas yang akan ditetaskan sebaiknya diambil dari induk betina yang dipelihara bersama pejantan dengan perbandingannya 2-3 : 1. Pengambilan telur tetas dapat dilakukan sebulan setelah dewasa kelamin, tujuannya agar semen unggas benar-benar telah dewasa kelamin dan semua telur tetas yang diambil diharapkan telah dibuahi dalam kondisi normal dengan sex rasio yang benar dan Pemberian ransum yang baik fertilitas dapat mencapai 85-95% (Rasyaf 1993 dalam listiyowati dan Rospitasari 2004).
Fertilitas telur unggas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, sperma, pakan, umur bibit, musim/suhu, sifat kawin pejantan, waktu perkawinan, dan produksi telur (Anonimous, 2002).
2.3.3.2 Daya Tetas
Telur yang bersih mempunyai daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan telur yang kotor, karena telur yang kotor mengandung mikroorganisme yang akan masuk kedalam telur pada proses penetasan, sehingga menurunkan daya tetas (Agus, dkk., 2001).
Menurut North dan Bell (1990) bahwa faktor-faktor yang langsung mempengaruhi daya tetas adalah kondisi sperma, umur induk, kesehatan induk, kandungan zat gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas (jumlah mikroorganisme). Sedangkan Putra (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah breeding, produksi telur, umur, tatalaksana pemeliharaan, kondisi kandang dan ransum.



2.3.3.3 Bobot Tetas
Berat tetas tidak dipengaruhi oleh jenis desinfektan. Berat telur akan mempengaruhi berat tetas. Berat telur tetas yang seragam akan menghasilkan berat tetas yang sama (Mahfudz,1998).
Beberapa penyakit pada breeder farm mempengaruhi perkembangan embrio, daya tetas dan kualitas anak ayam, sehingga menyebabkan infeksi pada hasil tetas, kematian dan anak ayam menjadi lemah (North dan Bell, 1990).
Menurut Rasyaf (1989) dalam Ilmi (2005) bahwa ada hubungan yang positif antara berat telur dengan berat awal anak ayam yang menetas pada umur sehari. Djannah (1988) dalam Ilmi (2005) bahwa berat besarnya telur merupakan suatu karakter performans yang turun temurun, karakter itu berbeda setiap bangsa, varietas dan strain ayam.
Untuk memperoleh hasil penetasan yang baik, maka lama penyimpanan maksimal telur yang akan ditetaskan adalah 7 hari (Triharyanto, 2001). Prayitno (1992) bahwa telur yang memiliki daya tetas yang tinggi yaitu telur yang berumur 1-7 hari dan telur yang baru dipungut dari kandang tidak baik hasilnya jika langsung ditetaskan. Telur yang akan ditetaskan hendaknya dalam keadaan bersih. Telur yang kotor dan terkontaminasi bakteri dapat menyebabkan telur membusuk (Nuryati, dkk 2002).
Bentuk telur oval atau lonjong dengan ukuran telur normal, artinya tidak terlalu besar tidak kecil memiliki daya tetas yang baik. Tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas yang baik tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas rendah (Cahyono, 2000).






III. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan mulai bulan Maret – April 2012. Bertempat di Kandang Atas Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas Telur Itik Lokal dapat dilihat pada Tabel 2. sebagai berikut :
Tabel 2. Alat yang digunakan dalam praktikum beserta kegunaannya
No. Nama Alat Kegunaan
1. Mesin Tetas Untuk tempat menetaskan telur
2. Timbangan Digital Untuk menimbang telur dan DOD
3. Spidol Untuk menulis kode telur
4. Jangka Sorong Untuk mengukur panjang dan lebar telur
5. Egg Try Untuk menyimpan telur
6. Center Untuk meneropong telur
7. Alat Tulis Menulis Untuk mencatat hasil pengamatan

Bahan yang digunakan dalam praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas Telur Itik Lokal dapat dilihat pada Tabel 3. sebagai berikut :
Tabel 3. Bahan yang digunakan beserta kegunaannya
No. Nama Bahan Kegunaan
1. Telur Itik Sebagai obyek amatan
2. DOD Sebagai obyek amatan

3.3. Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas Telur Itik Lokal sebagai berikut :
1. Menyiapkan mesin tetas sederhana yang telah dirangkai seri menggunakan aliran listrik dan telur itik berumur ± 7 hari
2. Menimbang dan mengukur telur
3. Mengatur suhu ruang mesin tetas
4. Memasukkan telur kedalam mesin tetas yang rapi dengan hati-hati
5. Melakukan pembalikan telur setiap hari pada pagi dan sore agar telur mendapatkan suhu panas yang merata.
6. Megeluarkan telur dari mesin tetas ± 15 menit
7. Melakukan peneropongan telur, 7 hari pertama untuk melihat telur yang fertil dan tidak.
8. Melakukan peneropongan telur pada minggu ke-2 yaitu hari ke-14 untuk melihat perkembangan embrio (DHE).
9. Megelurakan dan menimbang DOD sebagai bobot awal.
3.4. Batasan Operasional
Adapun peubah yang diamati dalam praktikum ini yaitu :
1. Fertilitas adalah persentase telur-telur yang bertunas dari sejumlah telur yang dieramkan, tanpa memperhatikan apakah telur-telur tersebut menetas atau tidak.
Fertilitas diamati pada umur penetasan 7 hari yang dihitung dengan rumus :

Jumlah telur fertil
Fertilitas = x 100%
Jumlah telur yang ditetaskan
2. Daya hidup embrio adalah persentase telur-telur yang fertil dari umur 7 hari penetasan sampai pada umur 14 hari penetasan.
Daya hidup embrio diamati pada umur penetasan 14 hari yang dihitung dengan rumus :
Jumlah embrio yang masih hidup ke-14 hari
Daya hidup embrio = x 100%
Jumlah telur fertil yang ditetaskan
3. Daya tetas adalah persentase telur-telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil dapat dihitung dengan rumus :
Jumlah telur menetas
Daya tetas = x 100%
Jumlah telur fertil
4. Bobot tetas (g) adalah bobot badan anak itik (DOD) setelah menetas yang ditimbang setelah 95% bulunya kering.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persentase Karakteristik Telur Itik Alabio

Berdasarkan hasil pengamatan, maka persentase karakteristik telur itik lokal dapat dilihat pada table 4 dibawah ini:
Tabel 4. Karakteristik Telur Itik
Karakteristik Telur
Warna (%) Tekstur (%) Bentuk (%)

Putih Biru Kasar Halus Oval Lonjong
53 46 - 100 87 13

Pada tabel 4 terlihat bahwa persentase warna telur itik yang berwarna putih 53% dan biru 46%. Ini menunjukkan bahwa warna telur itik yang berwana putih lebih dominan dibandingkan dengan telur yang berwarna biru. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa warna kerabang telur itik alabio yaitu putih kehijauan. Warna kerabang telur ini dipengaruhi oleh pigmen warna terhadap pakan yang diberikan kepada induk, dan genetic dari itik tersebut.
Persentase tekstur telur itik pada tabel 4 sebesar 100% adalah halus. Ini menunjukkan bahwa tekstur telur pada itik alabio yang dijadikan sebagai telur tetas merupakan telur yang bagus, sebab jika tekstur telur yang dijadikan sebagai telur tetas adalah kasar biasanya menandakan bahwa pori-pori tersebut banyak dan besar serta memudahkan mikroorganisme akan mudah masuk dan merusak telur sehingga dapat menyebabkan kegagalan penetasan.
Pada tabel 4 terlihat bahwa rata-rata bentuk telur yang dominan yaitu oval dengan persentase 87% dan lonjong sebesar 17%. Hal ini menunjukkan bahwa telur dengan bentuk oval sangat baik dijadikan sebagai telur tetas karena dihasilkan dari induk yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Telur dengan bentuk yang oval mempunyai daya tetas tinggi ini disebabkan karena kantong udara dalam telur dalam posisi yang sempurna yaitu antara abumin dan yolk seimbang, sehingga embrio dalam telur dapat berkembang dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sujionohadi dan Setiawan (2007) dalam Hazizi (2011), menyatakan bahwa telur tetas yang baik untuk dijadikan sebagai bibit atau bisa ditetaskan memiliki ciri salah satu diantaranya adalah bentuknya oval (bulat lonjong) dengan perbandingan lebar dan panjang 3:4, Telur yang berbentuk oval memiliki daya tetas yang tinggi,sedangkan Telur yang terlalu lonjong atau bulat daya tetasnya rendah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Cahyono (2000) Bentuk telur oval atau lonjong dengan ukuran telur normal, artinya tidak terlalu besar tidak kecil memiliki daya tetas yang baik. Tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas yang baik tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas rendah
4.2 Persentase Dimensi Telur Itik
Berdasarkan hasil pengamatan tentang pengukuran dimensi telur itik Alabio dapat dilihat pada table 5.
Table 5. Dimensi Telur Itik
Rata-Rata Dimensi Telur Itik
Bobot (gr) Ukuran telur (mm) Indeks (%)
58,2 Lebar Panjang 75,1
42,7 57

Pada table 5, terlihat bahwa bobot telur itik rata-rata sebesar 58,2 gr. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa telur itik alabio mempunyai berat telur rata-rata 59-65 g/butir. Namun belum dipastikan bahwa berat telur tersebut dapat mempengaruhi kegagalan penetasan karena tidak ada literature yang mendukung. Kecuali pada telur ayam bobot normalnya antara 35-40 g, dan jika kurang dari 35 g maka bibit yang dihasilkan berukuran kecil dan lambat pertumbuhannya. Sedangkan telur yang bobotnya lebih dari 40 g, daya tetasnya rendah karena sering mati sebelum keluar dari cangkang (Sujionohadi dan Setiawan, 2007).
Persentase indeks telur itik pada table 5 sebesar 75,1%. Hal ini menunjukkan bahwa daya tetas dari indeks telur cukup tinggi da berada pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abidin (1999) bahwa telur tetas yang baik adalah telur yang memiliki daya tetas tinggi. Daya tetas yang tinggi dapat dilihat dari nilai indeks telur Nilai indeks telur sebesar 74% berarti telur memiliki daya tetas yang paling tinggi. Dengan demikian, bentuk telur yang akan digunakan dalam penetasan janganterlalu bulat atau terlalu lonjong. Kisaran nilai indeks telur sebesar 74% akan mempermudah dalam pengepakan telur. Nilai Indeks Telur bervariasi antara 65-82 dimana yang ideal berkisar antara 69-77 %.
4.3 Persentase Daya Fertilitas
Fertilitas adalah persentase telur-telur yang bertunas dari sejumlah telur yang dieramkan, tanpa memperhatikan apakah telur-telur tersebut menetas atau tidak menetas. Jumlah telur-telur yang bertunas tersebut ditentukan berdasarkan hasil peneropongan (candling) yang dilakukan pada hari ke – 7 saat telur tetas dibalik pada sore hari. Telur fertil memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan yang ditandai dengan adanya akar-akar serabut pembuluh darah dan di tengah serabut-serabut tersebut terdapat bintik darah, sedangkan telur yang infertil terlihat bening tanpa ada serabut pembuluh darah dan bintik darah.
Persentase fertilitas telur itik Alabio dapat dilihat pada table 6.
Tabel 6. Persentase fertilitas telur itik alabio
Persentase fertilitas Telur Itik
Jumlah (butir) Persentase
Fertil 79 60.77
Infertil 37 28.46
Mortilitas 14 10.77

Tabel 6 menunujukkan bahwa persentase fertilitas telur itik Alabio yaitu 60,77% (hidup), infertile (mati dini) 28,46%, dan telur motil (kosong) sebesar 10,77%. Fertilitas yang diperoleh dari praktikum ini lebih tinggi dibandingkan dengan fertilitas telur ayam tolaki yang diperoleh Hazizi (2011) sebesar 52,72%. Fertilitas yang diperoleh pada praktikum ini kemungkinan pola pemeliharaan yang baik, ratio jantan dan betina yang tepat, dan manajemen yang tepat. hal ini sesuai dengan pebdapat Suprijatna (2005) yang meyatakan bahwa ratio jantan dan betina yang ideal 1:6-1:8 akan menhasilkan fertilitas yang tinggi. Ini diperkuat oleh pendapat North dan Bell (1990) bahwa faktor lain yang mempengaruhi fertilitas adalah kondisi semen, kandungan gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan-betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas.
Selain itu data ini diperoleh dari hasil candling atau peneropongan pada hari ke-7. Telur yang tidak fertile dikeluarkan dari mesin tetas yaitu sekitar 28,79% karena dapat mempengaruhi perkembangan embrio yang ada didalam ruang penetasan. Telur-telur yang tidak fertile ini mungkin disebabkan karena jarak pengangkutan telur dari asalnya ke ruang penetasan, guncangan. Sedangkan telur yang mortil atau kosong disebabkan karena tidak dibuahi oleh pejantan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Windyarti (2009), manyatakan bahwa telur yang tidak fertil berdasarkan hasil candling lebih baik dikeluarkan dari ruang inkubator. Telur – telur tersebut yang ditemukan mati dini disebabkan karena pengagkutan telur dari asalnya ke ruang inkubator, karena goncangan, perolehan suhu yang tidak merata dan sebagainya. Sedangkan telur yang mortil atau kosong disebabkan karena tidak dibuahi oleh pejantan.
4.4 Persentase Daya Hidup Embrio
Daya hidup embrio adalah persentase telur-telur fertil yang masih hidup sampai pada hari ke 14 umur penetasan. Untuk mengetahui daya hidup embrio dari telur-telur yang fertil dilakukan peneropongan (candling) pada hari ke-14 umur penetasan saat telur dibalik pada sore hari. Telur yang masih hidup pada 14 hari umur penetasan ditandai dengan bertambahnya jumlah dan ukuran akar-akar serabut pada telur, sedangkan telur yang mati ditandai adanya bintik dan benang darah merah yang mengelilingi telur.
Persentase daya hidup embrio dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Persentase daya hidup embrio telur itik alabio
Persentase DHE Telur Itik
Jumlah Persentase
Mortilitas 6 7.60%
DHE hari ke-14 73 92.40%

Tabel 7 menunjukkan persentase daya hidup embrio (DHE) pada hari ke-14 yaitu sebesar 92.40% dan yang mortilitas sekitar 7,60%. Tingginya daya hidup embrio ini kemungkinan disebabkan penanganan telur tetas selama proses penetasan dilakukan secara hati-hati, penanganan telur pada saat pembalikan tidak terlalu lama, sehingga suhu dalam mesin tetas tetap stabil. Selain itu pada praktikum ini pembalikan telur dalam mesin tetas dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, saat dilakukan pembalikan telur dilakukan dengan perlahan agar telur tidak retak atau pecah dan isinya tidak terguncang.
Hal ini sesuai dengan pendapa Tullet Tullet (1990) dalam Hazizi (2012), menyatakan bahwa keberhasilan penetasan tergantung dari suhu, kelembaban, frekuensi pemutaran telur, ventilasi dan kebersihan telur.
4.5 Persentase Daya Tetas Telur Itik
Daya tetas ditentukan berdasarkan jumlah telur tetas yang menetas dari sejumlah telur-telur tetas yang tertunas atau fertil (Djannah, 1998).
Persentase daya tetas telur itIk dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Persentase daya tetas telur
Persentase Daya Tetas Telur Itik
Jumlah Persentase
Telur tidak menetas 43 58.90%
DOD menetas 30 41.10%

Berdasarkan tabel 8 menunujukkan bahwa persentase daya tetas telur yang menetas sebesar 41,10%. Dari data tersebut diketahui bahwa daya tetas tersebut sangat rendah. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Hazizi (2011) yang mendapatkan daya tetas ayam tolaki 55,21%. Rendahnya daya tetas pada praktikum ini kemungkinan besar disebabkan umur pajantan dan induk yang digunakan sudah tua yakni >24 bulan. Kemudian hasil ini sangat berbeda dengan pendapat Suryana (2011) yang menyatakan bahwa daya tetas berkisar 79,49-80%. Menurut North dan Bell (1990) bahwa faktor-faktor yang langsung mempengaruhi daya tetas adalah kondisi sperma, umur induk, kesehatan induk, kandungan zat gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas (jumlah mikroorganisme). Sedangkan Putra (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah breeding, produksi telur, umur, tatalaksana pemeliharaan, kondisi kandang dan ransum.
4.6 Penimbangan Bobot Awal DOD
Bobot tetas adalah bobot badan anak ayam setelah menetas yang ditimbang setelah kering bulunya. Berdasarkan hasil pengamatan tentang penimbangan bobot awal DOD dapat dilihat pada tabel 9 sebagai berikut :
Tabel 9. Penimbangan bobot awal DOD
Jumlah DOD
(Ekor) Jumlah Bobot DOD
(gram) Rata-rata BB DOD
(gram)
30 1013.01 33.77

Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan awal DOD setelah ditetaskan diperoleh hasil sekitar 33,77 gram. Hal ini berbeda dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa bobot DOD bobot DOD pada telur itik alabio 45-49 gr/ekor. Rendahnya bobot badan disebabkan karena ukuran telur itik alabio lebih kecil dbandingkan dengan telur itik Mojosari dan itik Bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2011) bahwa berat telur itik Alabio yaitu bobot DOD 45-49 gr/ekor, sedangkan telur itik Mojosari berat telur rata-rata 65 gram (Sohibbul 2008) dan itik Bali berat telur 59 gram/butir (Agus, 2001),. Selain itu telur yang dijadikan sebagai telur tetas ukurannya tidak seragam. Ini sesuai dengan pendapat Ilmi (2005) dalam Hazizi (2011) bahwa ada hubungan yang positif antara bobot telur dengan bobot awal anak ayam yang menetas pada umur sehari.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wiharto (1988) dalam Hazizi (2011), menyatakan bahwa penetasan dengan bobot telur seragam akan memberikan hasil yang baik karena anak-anak unggas yang menetas nantinya juga memiliki bobot yang seragam, telur harus seragam bentuk, warna dan bobotnya.
4.7 Pengamatan Fenotip DOD
Hasil pengamatan fenotip DOD dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut :
Tabel 10. Fenotip DOD
Persentase Warna Bulu DOD (30 ekor)
Warna Jumlah Persentase (%)
Coklat 20 66.67
Hitam 3 10
Kuning 2 6.67
kuning + coklat 5 16.66
Jumlah 30 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata persentase tertinggi yaitu pada warna bulu coklat sebesar sebesar 66,67% dan terndah pada warna bulu kuning yaitu 6,67%. Kemudian disusul dengan warna bulu kombinasi (kuning + cokelat ) 16,66% dan warna Hitam 10%. Secara keseluruhan DOD bulu yang dominan dari yang lain adalah berwarna cokelat. Hal tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Anonim (2011) bahwa warna bulu itik Alabio adalah cokelat. Namun, ada juga itik yang warna bulunya hitam dan kuning bahkan hanya hitam saja. Hal itu disebabkan karena kemungkinan ternak jantan bulunya berwarna hitam.




.












V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa persentase fertilitas telur itik sebesar yaitu sebesar 60,77%, daya hidup embrio 92,40%, dan daya tetas yaitu daya tetas sebesar 41,10%. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor diantaranya fakor telur tetas, mesin tetas, serta tatalaksana penetasan.
5.2. Saran
Saran yang dapat saya ajukan untuk praktikum ini, sebaiknya dilakukan praktikum lanjutan mengenai penetasan telur itik dan telur ayam kampung dengan menggunakan mesin modern yang ada di UPT. Laboratorium Jurusan Peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2011. Itik alabio. http://www.sentralternak.com. Di akses 28 mei 2012

Anonim. 2012. Itik Alabio. Kendari. http://www.peternakandody.com/berita-135-itik-alabio.html. Di Akses 28 Mei 2012

Anonim. 2012. Seleksi Telur Tetas. Kendari. http://www.forumternak.com/t40-seleksi-telur-tetas. Di Akses 25 Mei 2012

Agus, G.T. K., K. A. Agus, A. Dinawati dan U.T. Dipo., 2001. Mesin Tetas. Cetakan 1. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Cahyono, B., 2002. Ayam Buras Pedaging. Penebar swadaya. Jakarta.

Djannah, D., 1998. Beternak Ayam. Yasaguna. Surabaya.

Hazizi. 2011. Daya Tetas Telur Ayam Tolaki pada Mesin Tetas dengan Sumber Panas Berbeda. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari.

Ilmi, I., 2005. Pengaruh bentuk dan umur telur terhadap daya tetas dan proporsi jenis kelamin ayam arab. Universitas Haluoleo. Kendari
Jasa, L., 2006. Pemanfaatan Mikrokontroler Atmega 163 Pada Prototipe Mesin Penetasan Telur Ayam. Teknologi Elektro. www. pdffactory.com. Vol 5 No.1 Januari-Juni 2006

Mahfudz, L. D., 1998. Manajemen Penetasan Telur Unggas. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

Murtidjo, B., 1993. Mengelola Itik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Nurhayati, T., Sutarto, dan Karim, M., 2000. Sukses Menetaskan Telur. Penebar Swadaya. Cianjur.

North, M. O. dan D. D. Bell., 1990. Commercial Chicken Manual. 4th Ed. Avi Publishing Company Inc. West Port, California.

Paimin, F. B., 2001. Membuat dan mengelola mesin tetas. Penebar swadaya. Jakarta

Putra. Z., 2009. Fertilitas dan daya tetas. PSK Unggas Kelas Dua Untuk Siswa/I SPP-SPMAN Saree Provinsi Aceh. Banda Aceh. http://www.google.co.id.

Rassinglili, A., 2010. Tips Penetasan dan Setelah Penetasan. http://www.andela-rassinglili.co.id. Tanggal 18 bulan april 2010.

Rasyaf, M., 1994. Beternak Itik. Kanisius. Yogyakarta.
Sudaryani, T. dan Santosa, H., 2003. Pembibitan Ayam Ras. Penebar swadaya.
Jakarta.

Sudaryani, Titik dan Santosa, H., 2004. Pembibitan Ayam Ras. Penebar swadaya. Jakarta

Suprijatna, E., Atmomarsono, U., Kartasudjana, R., 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., Atmomarsono, U., Kartasudjana, R., 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar swadaya. Jakarta.

Tullett, S. G. dan F.G. Burton, 1987. Effect of two gas mixtures on growth of the domestic fowl embryo from days 14 through 17 of incubation. J. Exp. Zool. Suppl. 1 : 347-350

Windhyarti S.S., 2009. Beternak Itik Tanpa Air Edisi Revisi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kamis, 21 Juni 2012

Prospek Pengembangan Peternakan Kambing Melalui Program Village Breeding Center (VBC) Di Kabupaten Konawe Kecamatan Wawotobi Kelurahan Palarahi


I.    PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dewasa ini peningkatan akan kebutuhan daging terus meningkat, dimana peningkatan kebutuhan ini terjadi seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan kesadaran masyarakat tentang ilmu pengetahuan akan pentingnya gizi bagi tubuh. Sementara populasi ternak lokal sebagai penghasil daging masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga kita masih harus mengimpor daging dari luar negeri agar kebutuhan dapat terpenuhi. Padahal dengan sumber daya alam yang ada kita dapat mengembangkan peternakan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus mengimpor daging dari luar  negeri. Saat ini pembibitan kambing masih berbasis pada peternakan rakyat yang berciri skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemamfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis.
Kambing merupakan ternak yang memiliki sifat toleransi tinggi terhadap bermacam-macam pakan hijauan serta mempunyai daya adaptasi  yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan. Pengembangan kambing memiliki memiliki peluang komoditas ekspor, sehingga bibit kambing merupakan saah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai startegis dalam upaya pengembangan secara berkelanjutan.
Pemeliharaan kambing beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Perkembangan ini senantiasa didorong oleh pemerintah dalam upaya tercapainya swasembada daging.  Pada tahun 2001 populasi kambing di Indonesia adalah sebesar 12,5 juta ekor.  Populasi ini terus-menerus mengalami peningkatan hingga mencapai 13,2 juta ekor pada tahun 2005Tingkat konsumsi akan kambing secara nasional terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Meskipun terjadi kenaikan populasi, tetap belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional. Jumlah kambing yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dan di Luar Rumah Potong Hewan (LRPH) yang dilaporkan pada tahun 2001 – 2005 adalah berturut-turut sebesar 548.451 ekor, 562.845 ekor, 574.258 ekor, 590.827 ekor, dan 606.384 ekor.
Sementara untuk Kabupaten Konawe terjadi peningkatan jumlah peternakan kambing, hal ini didasari banyaknya permintaan daging Kambing di Kabupaten Konawe. Data BPS (2009) menunjukan bahwa pemotongan kambing pada tahun 2006  sebesar 895 ekor dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 1.092 ekor.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan akan pemenuhan kebutuhan daging yaitu dengan cara mengembangkan peternakan dalam hal ini mengadakan program pembibitan ternak terutama ternak kambing. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra pengembangan ternak ruminansia di Kawasan Timur Indonesia yang baik untuk mengembangkan populasi ternak kambing dengan berbasis pembibitan peternakan rakyat atau biasa disebut dengan Village Breeding Center (VBC) dengan penerapan sistem dan usaha agribisnis sehingga pembibitan yang nantinya akan dikembangkan tidak hanya berjalan sementara tetapi diharapkan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Hal ini tentunya merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua, baik kita sebagai sarjana peternakan, masyarakat peternak maupun pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan populasi ternak kambing melalui program pembibitan peternakan rakyat (VBC) untuk memenuhi kebutuhan mayarakat akan daging dengan memamfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang cukup potensial dan untuk mengembangkan ternak lokal seperti ternak kambing.
B.       Rumusan Masalah
Rumusan dari makalah ini yaitu :
1.      Apakah di Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe, Kecamatan Wawotobi berpotensi untuk mengembangkan program pembibitan peternakan rakyat (Village Breeding Center).


II.     PEMBAHASAN

A.      Potensi Pengembangan Program Pembibitan Kambing di Kabupaten
       Konawe Kecamatan Wawotobi

    Gambar 1. Peta Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe
   a.      Keadaan Wilayah Kabupaten Konawe Kecamatan Wawotobi
Kabupaten Konawe memiki jarak tempuh 73 km dari Kota Kendari, secara geografis terletak dibagian selatan Katulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara antara 3°00' – 4°25' Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur antara 121°73' – 123°15' Bujur Timur.
Kondisi topografi dan hidrologi Kabupaten Konawe terdiri dari Permukaan tanah pada umumnya bergunung dan berbukit yang diapit dataran rendah yang sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Berdasarkan garis ketinggian menurut hasil penelitian pada areal seluas 1.556.160 ha. Jenis tanah meliputi Latosol 363.380 ha atau 23.35 persen. Padzolik 438.110 ha 28,15 persen, Organosol 73.316 ha atau 4,80 persen dan tanah campuran 553.838 ha 35,59 persen. Kabupaten Konawe mempunyai beberapa sungai besar yang cukup potensial untuk pengembangan pertanian, irigasi dan pembangkit tenaga listrik, seperti Sungai Konaweeha, Sungai Lahumbuti, Sungai Lapoa, Sungai Lasolo, Sungai Kokapi, Sungai Toreo, Sungai Andumowu dan Sungai Molawe.
Sedangkan kondisi agroklimat dimana curah hujan di tahun 2005 mencapai 2.851 mm dalam 205 hari hujan (hh) atau lebih tinggi dari tahun 2004 dengan curah hujan 1.556 mm dalam 132 hh.
Secara keseluruhan, Kabupaten Konawe merupakan daerah bersuhu tropis.  Menurut data yang diperoleh  dari Pangkalan  Udara  Wolter monginsidi Kendari, selama tahun 2009 suhu udara maksimum 35oC dan minimum 17oC atau dengan rata-rata 33,5 0C dan 19,3 0C. Tekanan udara rata-rata 1.009,1 milibar dengan kelembaban udara rata-rata 75,7 persen. Kecepatan angin pada umumnya berjalan normal yaitu disekitar 4,25 M/Sec.
Secara khusus di Kecamatan Wawotobi memiliki keadaan daerah yang tidak jauh berbeda dengan kabupaten Konawe secara umum. Secara umum Kecamatan Wawotobi terletak dibagian utara wilayah Kabupaten Konawe ±  6 Km kearah Timur dari kota Unaaha dan 65 Km kearah Barat dari ibukota Propinsi. Dimana Kecamatan Wawotobi merupakan wilayah daratan. Sebagian besar (62.02%). Kondisi wilayahnya datar sampai berombak dan sedikit sekali (5.46%) berbukit sampai bergunung. Daerah ini sangat cocok sebagai daerah pertanian. Dengan luas wilayah 6.768 Ha atau sekitar 1,02 % luas wilayah kabupaten Konawe, luas ini  termasuk hutan negara.
Berdasarkan data BPS, Kecamatan wawotobi pada tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebanyak 277,88 jiwa. Dengan laju pertumbuhan 1% pertahun.
Kecamatan Wawotobi memliki pola curah hujan tahunan 1.500-1.900 mm. Dengan sumber air yang melimpah yang terdiri dari sumur gali yang hampir setiap rumah tangga memilikinya. Selain itu sumber irigasi lain yang mnegairi persawahan dan perkebunan yaitu dari sungai lahambuti, sungai konaweeha dan sungai lasolo.
Penggunaan tanah di Kecamatan Wawotobi terdiri atas Sawah, Tanah kering, Bangunan/Pekarangan, dan lainnya. Penggunaan lahan yang terbesar di Kecamatan Wawotobi adalah lahan kering. Luas lahan kering mencapai  5.906 Ha atau 51 persen, Sawah 2.269 atau 19 persen, tanah lainnya 2.675 Ha atau 23 % dan sisanya  bangunan/pekarangan 819 ha atau 8 persen. Sedangkan komoditas utama di Kecamatan Wawotobi yaitu Padi disamping tanaman pertanian perkebunan seperti Kelapa Dalam, Kelapa Hibryda, Lada dan sagu.
Sedangkan Secara keseluruhan jumlah populasi ternak terbesar adalah sapi  yaitu sebanyak 2.230 ekor yang tersebar pada setiap desa/kelurahan di Kecamatan Wawotobi. Adapun untuk unggas, maka Ayam Buras memiliki populasi terbesar yaitu mencapai 32.834 ekor. Populasi ternak dan unggas lainnya yaitu kambing sebanyak 694 ekor; itik/manila 1.881 ekor dan Angsa 68 ekor.
            Dengan keadaan wilayah seperti ini memungkinkan dilakukan program pembibitan ternak Kambing di kecamatan Wawotobi.
  b.      Potensi Kambing di Kabupaten Konawe
Kambing sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakkan karena ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang biak, jumlah anak perkelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antar kelahiran pendek dan pertumbuhan anaknya cepat.  Selain itu, kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi agroekositem suatu tempat.  Jenis ternak kambing yang banyak dipelihara di pedesaan adalah ternak kambing kacang (Sarwono, 2010).
Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia. Sifatnya lincah, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan alam setempat.  Kambing kacang sangat cepat berkembang biak karena pada umur 15-18 bulan sudah bisa menhasilkan keturunan.  Kambing ini cocok untuk penghasil daging karena sangat prolifik (sering melahirkan anak kembar dua). Kadang dalam satu tahun kelahiran menghasilkan keturunan kembar tiga setiap induknya.  Hewan ini sering dibiarkan mencari pakan sendiri, kawin dan beranak tanpa bantuan pemilik ternak.  Produk yang dihasilkan terutama dimanfaatkan dalam bentuk daging dan kulit (Mulyono dan Sarwono, 2010).
Kambing kacang termasuk kambing yang sangat subur, dapat beranak pertama kali pada umur 15-18 bulan dan cepat berkembangbiak, karena perkembangbiakannya cepat dan terdapat dimana-mana, maka kambing kacang mempunyai peranan yang cukup berarti dalam penyediaan daging dan membantu perekonomian petani yang berpenghasilan rendah (Djanah, 1990).
Kambing cukup potensial dikembangkan sebagai ternak pedaging karena kidding interval (jarak beranak) pendek.  Pada umur 1-2 tahun anak kambing sudah bisa dipotong untuk dikonsumsi dagingnya (Mulyono dan Sarwono, 2010). Menurut Sarwono (2010), nilai ekonomi, sosial, dan budaya beternak kambing sangat nyata.  Dijelaskan lebih lanjut, besarnya nilai sumber daya bagi pendapatan keluarga petani bisa mencapai 14-25% dari total pendapatan keluarga dan semakin rendah tingkat per luasan lahan pertanian, semakin besar nilai sumber daya yang diusahakan dari beternak kambing.
Di Sulawesi Tenggara sendiri, khususnya Kabupaten Konawe, permintaan daging kambing untuk tahun 2007 sebesar 13.419 ekor yang permintaannya berada pada urutan kedua setelah Kabupaten Kolaka.
Tabel 1. Populasi Ternak Kecil Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007 (Ekor)

Kabupaten/Kota

Kambing

Domba

Babi

Jumlah
1.     Buton
2.     Muna
3.     Konawe
4.     Kolaka
5.     Kota Kendari
6.     Kota Bau-Bau
7.     Wakatobi
8.     Bombana
9.     Konawe Selatan
1    Kolaka Utara
1    Konawe Utara
1    Buton Utara
19.446
7.082
13.419
22.992
3.060
1.037
11.270
12.535
6.107
1.226
5.525
1.590
-
-
-
-
-
-
-
-
353
-
-
-
382
612
10.585
7.359
20
1.307
-
1.100
6.191
-
65
-
19.828
7.694
24.004
30.281
3.080
2.344
11.270
13.988
12.298
1.226
5.590
1.590
Prop. Sulawesi Tenggara
 2007*
2006
2005
2004
2003


105.219
99.938
86.310
82.160
73.927


353
306
240
232
298


27.621
29.237
26.782
25.044
21.191


133.193
129.481
113.332
107.436
95.416
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten Konawe merupakan sentra peternakan yang baik untuk dikembangkan terutama ternak Kambing.  Pada tahun 2006 populasi ternak kambing di kabupaten konawe meningkat tetapi pada tahun 2007 terjadi penurunan yang sangat signifikan. Pada tahun 2008 perlahan-lahan barulah terjadi peningkatan  populasi. Hal ini didasari pada populasi ternak kambing yang terus meningkat pada tahun 2007-2010. Ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Populasi ternak kambing di Kabupaten Konawe  2006-2010
No
Tahun
Populasi
1
2010
16.496
2
2009
16.401
3
2008
15.309
4
2007
13.419
5
2006
20.022
Sumber: (BPS kota Kendari, 2010)
            Dari data di atas terlihat bahwa peningkatan populasi ternak kambing pertahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Konawe secara umum dan Kecamatan  Wawotobi secara khusus. Namun terjadinya peningkatan populasi tersebut belum memenuhi kebutuhan daging perkapita. Selama ini untuk memenuhi permintaan daging Kambing di Kabupaten Konawe selalu mendatangkan  dari luar daerah seperti dari Kabupaten Konawe Selatan khususnya desa Moramo. Sehingga perlu upaya pengembangan program pembibitan ternak  di Kabupaten Konawe khususnya kecamatan Wawotobi untuk mengatasi kurangnya pasokan daging untuk di daerah itu agar dapat tercukupi sehingga kita tidak perlu lagi mendatangkan ternak tersebut dari daerah lain. Selain itu dengan program Village Breeding Center yang merupakan usaha pembibitan ternak rakyat dapat meminimalisir angka pengangguran  dan membantu meningkatkan produktif dari masyarakat setempat untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan menjadikan usaha pembibitan sebagai mata pencaharian utama bukan sebagai sampingan.
Namun ada beberapa factor yang menjadi masalah pengembangan ternak kambing selama ini yaitu :
1.      Kurangnya bibit unggul yang akan dijadikan sebagai bibit dalam pengembangan program pembibitan.
2.      Keterbatasan anggaran dari Pemerintah untuk mendukung prospek pengembangan ternak kambing.
3.      Keterbatasan Sumber Daya Manusia yang mampu memberikan bimbingan teknis.
4.      Tidak semua masyarakat yang memiliki keinginan yang kuat untuk menjadikan peternakan kambing menjadi sebuah bisnis utama.
5.      Masih sedikitnya peran stakeholders lainnya yang bersedia untuk mendorong program tersebut.
6.      Keterbatasan pengetahuan dan sulitnya masyarakat untuk mengakses permodalan terutama kelembaga keuangan.
B.       Program Pembibitan Ternak Kambing di Kabupaten Konawe
Village Breeding Center (VBC) yang merupakan kawasan pengembangan peternakan yang berbasis pada usaha pembibitan ternak rakyat ini bertujuan untuk menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjual belikan. Selain itu dengan program pembibitan ini dapat meningkatkan populasi kambing yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat setempat agar tidak lagi mengimpor daging dari luar untuk memenuhi kebutuhan akan daging. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada program pembibitan Kambing di Kabupaten Konawe Kecamatan Wawotobi, antara lain :
1.        Pemilihan Lokasi VBC
Lokasi yang dipilih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.    Tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana detail tata ruang daerah (RDTRD) setempat;
b.    Merupakan daerah padat ternak dan atau daerah pengembangan ternak disuatu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sosial budaya untuk mendukung penyediaan bibit bermutu;
c.    Lokasi mudah dijangkau, terkonsentrasi dalam satu kawasan sehingga mutasi ternak dapat dikendalikan;
d.   Tersedia sarana dan prasarana perbibitan dan petugas teknis peternakan.
Dalam pogram pembibitan kambing. Pemilihan lokasi VBC harus disesuaikan dengan  jenis ternak yang akan dikembangkan sebagai sumber bibit di daerah tersebut guna mengetahui kesesuaian teknis disetiap lokasi yang ditetapkan. Selanjutnya dilakukan pendataan tentang berapa populasi tenak dan sumber daya alam, serta sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam program pembibitan agar program pembibitan dapat berjalan dengan baik.
2.        Kelompok Peternak
Kelompok peternak dalam program pembibitan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       Memiliki ternak yang akan diikutkan dalam program VBC;
b.       Bersedia mengikuti petunjuk teknis VBC;
c.        Bersedia membentuk kelompok peternak pembibit.