Kamis, 21 Juni 2012

Prospek Pengembangan Peternakan Kambing Melalui Program Village Breeding Center (VBC) Di Kabupaten Konawe Kecamatan Wawotobi Kelurahan Palarahi


I.    PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dewasa ini peningkatan akan kebutuhan daging terus meningkat, dimana peningkatan kebutuhan ini terjadi seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan kesadaran masyarakat tentang ilmu pengetahuan akan pentingnya gizi bagi tubuh. Sementara populasi ternak lokal sebagai penghasil daging masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga kita masih harus mengimpor daging dari luar negeri agar kebutuhan dapat terpenuhi. Padahal dengan sumber daya alam yang ada kita dapat mengembangkan peternakan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus mengimpor daging dari luar  negeri. Saat ini pembibitan kambing masih berbasis pada peternakan rakyat yang berciri skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemamfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis.
Kambing merupakan ternak yang memiliki sifat toleransi tinggi terhadap bermacam-macam pakan hijauan serta mempunyai daya adaptasi  yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan. Pengembangan kambing memiliki memiliki peluang komoditas ekspor, sehingga bibit kambing merupakan saah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai startegis dalam upaya pengembangan secara berkelanjutan.
Pemeliharaan kambing beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Perkembangan ini senantiasa didorong oleh pemerintah dalam upaya tercapainya swasembada daging.  Pada tahun 2001 populasi kambing di Indonesia adalah sebesar 12,5 juta ekor.  Populasi ini terus-menerus mengalami peningkatan hingga mencapai 13,2 juta ekor pada tahun 2005Tingkat konsumsi akan kambing secara nasional terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Meskipun terjadi kenaikan populasi, tetap belum mampu memenuhi kebutuhan daging nasional. Jumlah kambing yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dan di Luar Rumah Potong Hewan (LRPH) yang dilaporkan pada tahun 2001 – 2005 adalah berturut-turut sebesar 548.451 ekor, 562.845 ekor, 574.258 ekor, 590.827 ekor, dan 606.384 ekor.
Sementara untuk Kabupaten Konawe terjadi peningkatan jumlah peternakan kambing, hal ini didasari banyaknya permintaan daging Kambing di Kabupaten Konawe. Data BPS (2009) menunjukan bahwa pemotongan kambing pada tahun 2006  sebesar 895 ekor dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 1.092 ekor.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan akan pemenuhan kebutuhan daging yaitu dengan cara mengembangkan peternakan dalam hal ini mengadakan program pembibitan ternak terutama ternak kambing. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra pengembangan ternak ruminansia di Kawasan Timur Indonesia yang baik untuk mengembangkan populasi ternak kambing dengan berbasis pembibitan peternakan rakyat atau biasa disebut dengan Village Breeding Center (VBC) dengan penerapan sistem dan usaha agribisnis sehingga pembibitan yang nantinya akan dikembangkan tidak hanya berjalan sementara tetapi diharapkan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Hal ini tentunya merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua, baik kita sebagai sarjana peternakan, masyarakat peternak maupun pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan populasi ternak kambing melalui program pembibitan peternakan rakyat (VBC) untuk memenuhi kebutuhan mayarakat akan daging dengan memamfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang cukup potensial dan untuk mengembangkan ternak lokal seperti ternak kambing.
B.       Rumusan Masalah
Rumusan dari makalah ini yaitu :
1.      Apakah di Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe, Kecamatan Wawotobi berpotensi untuk mengembangkan program pembibitan peternakan rakyat (Village Breeding Center).


II.     PEMBAHASAN

A.      Potensi Pengembangan Program Pembibitan Kambing di Kabupaten
       Konawe Kecamatan Wawotobi

    Gambar 1. Peta Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe
   a.      Keadaan Wilayah Kabupaten Konawe Kecamatan Wawotobi
Kabupaten Konawe memiki jarak tempuh 73 km dari Kota Kendari, secara geografis terletak dibagian selatan Katulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara antara 3°00' – 4°25' Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur antara 121°73' – 123°15' Bujur Timur.
Kondisi topografi dan hidrologi Kabupaten Konawe terdiri dari Permukaan tanah pada umumnya bergunung dan berbukit yang diapit dataran rendah yang sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Berdasarkan garis ketinggian menurut hasil penelitian pada areal seluas 1.556.160 ha. Jenis tanah meliputi Latosol 363.380 ha atau 23.35 persen. Padzolik 438.110 ha 28,15 persen, Organosol 73.316 ha atau 4,80 persen dan tanah campuran 553.838 ha 35,59 persen. Kabupaten Konawe mempunyai beberapa sungai besar yang cukup potensial untuk pengembangan pertanian, irigasi dan pembangkit tenaga listrik, seperti Sungai Konaweeha, Sungai Lahumbuti, Sungai Lapoa, Sungai Lasolo, Sungai Kokapi, Sungai Toreo, Sungai Andumowu dan Sungai Molawe.
Sedangkan kondisi agroklimat dimana curah hujan di tahun 2005 mencapai 2.851 mm dalam 205 hari hujan (hh) atau lebih tinggi dari tahun 2004 dengan curah hujan 1.556 mm dalam 132 hh.
Secara keseluruhan, Kabupaten Konawe merupakan daerah bersuhu tropis.  Menurut data yang diperoleh  dari Pangkalan  Udara  Wolter monginsidi Kendari, selama tahun 2009 suhu udara maksimum 35oC dan minimum 17oC atau dengan rata-rata 33,5 0C dan 19,3 0C. Tekanan udara rata-rata 1.009,1 milibar dengan kelembaban udara rata-rata 75,7 persen. Kecepatan angin pada umumnya berjalan normal yaitu disekitar 4,25 M/Sec.
Secara khusus di Kecamatan Wawotobi memiliki keadaan daerah yang tidak jauh berbeda dengan kabupaten Konawe secara umum. Secara umum Kecamatan Wawotobi terletak dibagian utara wilayah Kabupaten Konawe ±  6 Km kearah Timur dari kota Unaaha dan 65 Km kearah Barat dari ibukota Propinsi. Dimana Kecamatan Wawotobi merupakan wilayah daratan. Sebagian besar (62.02%). Kondisi wilayahnya datar sampai berombak dan sedikit sekali (5.46%) berbukit sampai bergunung. Daerah ini sangat cocok sebagai daerah pertanian. Dengan luas wilayah 6.768 Ha atau sekitar 1,02 % luas wilayah kabupaten Konawe, luas ini  termasuk hutan negara.
Berdasarkan data BPS, Kecamatan wawotobi pada tahun 2010 memiliki jumlah penduduk sebanyak 277,88 jiwa. Dengan laju pertumbuhan 1% pertahun.
Kecamatan Wawotobi memliki pola curah hujan tahunan 1.500-1.900 mm. Dengan sumber air yang melimpah yang terdiri dari sumur gali yang hampir setiap rumah tangga memilikinya. Selain itu sumber irigasi lain yang mnegairi persawahan dan perkebunan yaitu dari sungai lahambuti, sungai konaweeha dan sungai lasolo.
Penggunaan tanah di Kecamatan Wawotobi terdiri atas Sawah, Tanah kering, Bangunan/Pekarangan, dan lainnya. Penggunaan lahan yang terbesar di Kecamatan Wawotobi adalah lahan kering. Luas lahan kering mencapai  5.906 Ha atau 51 persen, Sawah 2.269 atau 19 persen, tanah lainnya 2.675 Ha atau 23 % dan sisanya  bangunan/pekarangan 819 ha atau 8 persen. Sedangkan komoditas utama di Kecamatan Wawotobi yaitu Padi disamping tanaman pertanian perkebunan seperti Kelapa Dalam, Kelapa Hibryda, Lada dan sagu.
Sedangkan Secara keseluruhan jumlah populasi ternak terbesar adalah sapi  yaitu sebanyak 2.230 ekor yang tersebar pada setiap desa/kelurahan di Kecamatan Wawotobi. Adapun untuk unggas, maka Ayam Buras memiliki populasi terbesar yaitu mencapai 32.834 ekor. Populasi ternak dan unggas lainnya yaitu kambing sebanyak 694 ekor; itik/manila 1.881 ekor dan Angsa 68 ekor.
            Dengan keadaan wilayah seperti ini memungkinkan dilakukan program pembibitan ternak Kambing di kecamatan Wawotobi.
  b.      Potensi Kambing di Kabupaten Konawe
Kambing sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakkan karena ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang biak, jumlah anak perkelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antar kelahiran pendek dan pertumbuhan anaknya cepat.  Selain itu, kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi agroekositem suatu tempat.  Jenis ternak kambing yang banyak dipelihara di pedesaan adalah ternak kambing kacang (Sarwono, 2010).
Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia. Sifatnya lincah, tahan terhadap berbagai kondisi dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan alam setempat.  Kambing kacang sangat cepat berkembang biak karena pada umur 15-18 bulan sudah bisa menhasilkan keturunan.  Kambing ini cocok untuk penghasil daging karena sangat prolifik (sering melahirkan anak kembar dua). Kadang dalam satu tahun kelahiran menghasilkan keturunan kembar tiga setiap induknya.  Hewan ini sering dibiarkan mencari pakan sendiri, kawin dan beranak tanpa bantuan pemilik ternak.  Produk yang dihasilkan terutama dimanfaatkan dalam bentuk daging dan kulit (Mulyono dan Sarwono, 2010).
Kambing kacang termasuk kambing yang sangat subur, dapat beranak pertama kali pada umur 15-18 bulan dan cepat berkembangbiak, karena perkembangbiakannya cepat dan terdapat dimana-mana, maka kambing kacang mempunyai peranan yang cukup berarti dalam penyediaan daging dan membantu perekonomian petani yang berpenghasilan rendah (Djanah, 1990).
Kambing cukup potensial dikembangkan sebagai ternak pedaging karena kidding interval (jarak beranak) pendek.  Pada umur 1-2 tahun anak kambing sudah bisa dipotong untuk dikonsumsi dagingnya (Mulyono dan Sarwono, 2010). Menurut Sarwono (2010), nilai ekonomi, sosial, dan budaya beternak kambing sangat nyata.  Dijelaskan lebih lanjut, besarnya nilai sumber daya bagi pendapatan keluarga petani bisa mencapai 14-25% dari total pendapatan keluarga dan semakin rendah tingkat per luasan lahan pertanian, semakin besar nilai sumber daya yang diusahakan dari beternak kambing.
Di Sulawesi Tenggara sendiri, khususnya Kabupaten Konawe, permintaan daging kambing untuk tahun 2007 sebesar 13.419 ekor yang permintaannya berada pada urutan kedua setelah Kabupaten Kolaka.
Tabel 1. Populasi Ternak Kecil Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007 (Ekor)

Kabupaten/Kota

Kambing

Domba

Babi

Jumlah
1.     Buton
2.     Muna
3.     Konawe
4.     Kolaka
5.     Kota Kendari
6.     Kota Bau-Bau
7.     Wakatobi
8.     Bombana
9.     Konawe Selatan
1    Kolaka Utara
1    Konawe Utara
1    Buton Utara
19.446
7.082
13.419
22.992
3.060
1.037
11.270
12.535
6.107
1.226
5.525
1.590
-
-
-
-
-
-
-
-
353
-
-
-
382
612
10.585
7.359
20
1.307
-
1.100
6.191
-
65
-
19.828
7.694
24.004
30.281
3.080
2.344
11.270
13.988
12.298
1.226
5.590
1.590
Prop. Sulawesi Tenggara
 2007*
2006
2005
2004
2003


105.219
99.938
86.310
82.160
73.927


353
306
240
232
298


27.621
29.237
26.782
25.044
21.191


133.193
129.481
113.332
107.436
95.416
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara

Kabupaten Konawe merupakan sentra peternakan yang baik untuk dikembangkan terutama ternak Kambing.  Pada tahun 2006 populasi ternak kambing di kabupaten konawe meningkat tetapi pada tahun 2007 terjadi penurunan yang sangat signifikan. Pada tahun 2008 perlahan-lahan barulah terjadi peningkatan  populasi. Hal ini didasari pada populasi ternak kambing yang terus meningkat pada tahun 2007-2010. Ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Populasi ternak kambing di Kabupaten Konawe  2006-2010
No
Tahun
Populasi
1
2010
16.496
2
2009
16.401
3
2008
15.309
4
2007
13.419
5
2006
20.022
Sumber: (BPS kota Kendari, 2010)
            Dari data di atas terlihat bahwa peningkatan populasi ternak kambing pertahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Konawe secara umum dan Kecamatan  Wawotobi secara khusus. Namun terjadinya peningkatan populasi tersebut belum memenuhi kebutuhan daging perkapita. Selama ini untuk memenuhi permintaan daging Kambing di Kabupaten Konawe selalu mendatangkan  dari luar daerah seperti dari Kabupaten Konawe Selatan khususnya desa Moramo. Sehingga perlu upaya pengembangan program pembibitan ternak  di Kabupaten Konawe khususnya kecamatan Wawotobi untuk mengatasi kurangnya pasokan daging untuk di daerah itu agar dapat tercukupi sehingga kita tidak perlu lagi mendatangkan ternak tersebut dari daerah lain. Selain itu dengan program Village Breeding Center yang merupakan usaha pembibitan ternak rakyat dapat meminimalisir angka pengangguran  dan membantu meningkatkan produktif dari masyarakat setempat untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan menjadikan usaha pembibitan sebagai mata pencaharian utama bukan sebagai sampingan.
Namun ada beberapa factor yang menjadi masalah pengembangan ternak kambing selama ini yaitu :
1.      Kurangnya bibit unggul yang akan dijadikan sebagai bibit dalam pengembangan program pembibitan.
2.      Keterbatasan anggaran dari Pemerintah untuk mendukung prospek pengembangan ternak kambing.
3.      Keterbatasan Sumber Daya Manusia yang mampu memberikan bimbingan teknis.
4.      Tidak semua masyarakat yang memiliki keinginan yang kuat untuk menjadikan peternakan kambing menjadi sebuah bisnis utama.
5.      Masih sedikitnya peran stakeholders lainnya yang bersedia untuk mendorong program tersebut.
6.      Keterbatasan pengetahuan dan sulitnya masyarakat untuk mengakses permodalan terutama kelembaga keuangan.
B.       Program Pembibitan Ternak Kambing di Kabupaten Konawe
Village Breeding Center (VBC) yang merupakan kawasan pengembangan peternakan yang berbasis pada usaha pembibitan ternak rakyat ini bertujuan untuk menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjual belikan. Selain itu dengan program pembibitan ini dapat meningkatkan populasi kambing yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat setempat agar tidak lagi mengimpor daging dari luar untuk memenuhi kebutuhan akan daging. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada program pembibitan Kambing di Kabupaten Konawe Kecamatan Wawotobi, antara lain :
1.        Pemilihan Lokasi VBC
Lokasi yang dipilih harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.    Tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana detail tata ruang daerah (RDTRD) setempat;
b.    Merupakan daerah padat ternak dan atau daerah pengembangan ternak disuatu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sosial budaya untuk mendukung penyediaan bibit bermutu;
c.    Lokasi mudah dijangkau, terkonsentrasi dalam satu kawasan sehingga mutasi ternak dapat dikendalikan;
d.   Tersedia sarana dan prasarana perbibitan dan petugas teknis peternakan.
Dalam pogram pembibitan kambing. Pemilihan lokasi VBC harus disesuaikan dengan  jenis ternak yang akan dikembangkan sebagai sumber bibit di daerah tersebut guna mengetahui kesesuaian teknis disetiap lokasi yang ditetapkan. Selanjutnya dilakukan pendataan tentang berapa populasi tenak dan sumber daya alam, serta sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam program pembibitan agar program pembibitan dapat berjalan dengan baik.
2.        Kelompok Peternak
Kelompok peternak dalam program pembibitan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       Memiliki ternak yang akan diikutkan dalam program VBC;
b.       Bersedia mengikuti petunjuk teknis VBC;
c.        Bersedia membentuk kelompok peternak pembibit.

Kamis, 03 Mei 2012

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN KERBAU DI INDONESIA


I.                     PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kerbau merupakan ternak ruminansia yang paling besar bagi masyarakat Indonesia. Kerbau memiliki keunggulan tersendiri untuk dikembangkan karena dapat -bertahan hidup dengan kualitas pakan rendah, toleran terhadap parasit dan keberadaannya telah menyatu sedemikian rupa dengan kehidupan sosial dan budaya petani di Indonesia. Peran dan fungsi ternak kerbau di Indonesia yang paling utama adalah dalam hal 4 yaitu : (1) ikut berpartisipasi dalam ketahanan pangan hewani (2) menjadikan pengambangan usaha tani ternak yang lebih tangguh dan tahan terhadap krisis moneter, (3) untuk keperluan sosial budaya dan kepercayaan masyarakat lokal serta (4) sebagai komoditas agrowisata. Kerbau dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai, dan yang berkembang di Indonesia kebanyakan adalah kerbau rawa/lumpur.
Di masa lalu peran kerbau sangat berarti, khususnya bagi petani karna sangat membantu pada saat mengolah lahan sawah yang berlumpur yang kurang disukai oleh hewan kerja lain, dan juga merupakan sumber pangan (daging dan susu) . demikian berartinya jenis hewan ini sehingga pada awalnya populasi kerbau dari tahun ketahun merangkak naik. Menurut Afiyati dan Fauziah, populasi kerbau di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1925 yaitu sebanyak 3,3 juta ekor. Setelah itu terjadi fluktuasi jumlah yang umumnya cenderung menurun, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain; para petani kini tidak lagi menggunakan jasa kerbau  dalam mengolah sawahnya karena mereka cenderung menggunakan teknologi yang dapat mempercepat proses pekerjaan mereka seperti alat traktor dll., efisiensi reproduksi dari ternak sangat lambat. Meskipun begitu ada beberapa daerah tertentu yang meningkat biasanya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dari masyarakat tertentu.
Faktor dominan terjadinya penurunan populasi disebabkan kurangnya pengetahuan peternak kerbau mengenai ilmu dan teknologi reproduksi. Seperti yang dikemukakan oleh Toilehere (2010) bahwa ilmu dan teknologi reproduksi merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam usaha dan peningkatan produksi dan produktifitas kerbau.  
Selain penerapan ilmu dan teknologi reproduksi pada kerbau juga harus dipadukan dengan kondisi  lingkungan dan ekosistem daerah yang bersangkutan, pola atau ekosistem beternak, manajemen, latar belakang budaya masyarakat setempat dengan motif sosial ekonomi beternak. Selain itu banyak factor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas ternak kerbau yang dipengaruhi oleh factor internal maupun factor eksternal. Oleh sebab itu pengembangan kerbau di Indonesia merupakan tugas pemerintah bersama masyarakat veteriner untuk tetap melestrikan keberadaan kerbau di Indonesia agar tetap ada.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
1.      Apa yang menjadi masalah pengembangan kerbau di Indonesia?
2.      Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah pengembangan kerbau di Indonesia?


II.                PEMBAHASAN

                                                           Gambar Kerbau Rawa
                                                          Gambar Kerbau Sungai

A.    Peternakan Kerbau di Indonesia
Di Indonesia kerbau telah berkembang sejak dahulu. Dimana telah tersebar di seluruh Indonesia termasuk Sulawesi. Kerbau yang berasal di Indonesia didominasi oleh kerbau lumpur dengan jumlah populasi sekitar 2 juta ekor dan kerbau perah terdapat 5 ribu ekor. Kerbau-kerbau tersebut dipelihara oleh peternak kecil. Untuk kerbau lumpur dengan pemeliharaan secara tradisional dengan jumlah kepemilikan 2-3 ekor induk peternak, sedangkan kerbau perah dipelihara atau digembalakan secara berkelompok pada areal sekitar para peternak berdiam. Walaupun demikian pada beberapa tempat tertentu terdapat kepemilikan dalam jumlah besar sepeti di pulau Moa (Maluku), Sumba (NTT), dan Sumbawa (NTB) dimana jumlah kepemilikan kerbau per peternak sapat mencapai 100 ekor per induk. Dengan majunya otonomi daerah dan adanya permentan tentang penetapan SDG (sumber daya genetik) ternak lokal maka beberapa daerah mengklaim kerbau-kerbau lumpur yang ada di daerahnya untuk ditetapkan sebagai bangsa atau sub bangsa kebau di Indonesia kerana kemampuan adaptasinya pada lingkungan tertentu yang cukup berbeda dengan kawasan kerbau lainnya di Indonesia seperti kerbau Sumbawa (NTB), dan kerbau Moa (Maluku) yang diusulkan oleh daerah masing-masing untuk ditetapkan sebagai rumpun kerbau yang adaptif pada kondisi daerah spesifik pada iklim mikro masing-masing. (Rusastra, 2011)
Kerbau memiliki beberapa peranan utama secara nasional yaitu sebagai penghasil daging yang mendukung program pemerintah dalam hal swasembada daging selain daging sapi. Secara khusus kerbau dijadikan sebagai tenaga kerja bagi masyarakat bagi para petani dan tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dijual apabila diperlukan, selain itu kerbau dijadikan sebagai ternak yang digunakan dalam beberapa kegiatan upacara adat dan keagamaan bagi masyarakat tertentu.  Peran ini ikut menentukan perkembangan populasi kerbau di Indonesia. Produktifitas dari ternak kerbau dapat ditingkatkan dengan manajamen pemeliharaan yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya jual dari ternak tersebut untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Demikian pula jika kebutuhan berlaku secara efektif sesuai yang dibutuhkan peternak maka tentu existensi kerbau akan terus dipertahankan. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi maka tentulah populasi kerbau akan menurun, karena kebutuhan tentu driveb by market and farmers need. Populasi kerbau tidak akan menurun jika ada nilai tambah yang dilakukan dan berdampak nyata secara ekonomi bagi perbaikan penghasilan para peternak (Rusastra, 2011).
Ciri petenakan kerbau yang mendominasi keragaman usaha ternak kerbau di Indonesia, identik dengan ketergantungan pada pakan serat alami antara lain; rumput alam, jerami, berbagai tanaman pangan dan holtikultura serta perkebunan dengan skala usaha antara 2-3 unit ternak. Kerbau ini dapat digembalakan secara terus menerus maupun hanya digembalakan pada siang hari (Talib 2010) dan dikandangka. Kuswandi (2011) dan Prawiradigdo et, al (2010) mengatakan bahwa pakan   seperti ini  umumnya rendah kualitasnya sehingga membutuhkan teknologi pengkayaan nutrisi untuk meningkatkan kualitas nilai gizinya, apalagi kalau ditambah dengan masalah pemberian pakan dalam jumlah yang tidak mencukupi, maka produktivitas kerbau akan sangat sulit diperoleh.
Sepuluh provinsi di Indonesia dengan jumlah kerbau terbanyak
Provinsi
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Nanggro Aceh Darussalam
409,071
338,272
371,143
390,334
280,662
Sumatera Utara
263,435
259,672
261,794
189,167
155,341
Sumatera Barat
322,692
201,421
211,531
192,148
196,854
Sumatera Selatan
86,528
90,300
86,777
90,160
77,271
Banten
139,707
135,041
146,453
144,944
153,004
Jawa Barat
149,960
148,003
149,444
149,030
145,847
Jawa Tengah
122,482
123,815
112,963
109,004
102,591
NTB
156,792
154,919
155,166
153,822
161,450
NTT
136,966
139,592
142,257
144,981
148,772
Sulawesi Selatan
161,504
124,760
129,565
120,003
130,109
Sumber :
http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1=2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+

B.     Produktivitas Kerbau

Kerbau adalah ternak Asia yang beradaptasi dihampir semua negara Asia, dimana pada Asia Tenggara yang paling banyak populasinya adalah kerbau lumpur, sedangkan di Asia Timur adalah kerbau perah. Indonesia yang terletak di Asia Tenggara juga didominasi oleh kerbau lumpur. Umur beranak pertama adalah berkisar antara 3,5-4 tahun, dengan lama kebuntingan silaporkan 11-12 bulan. Jarak beranak antara 20-24 bulan yang termasuk rendah dan umumnya disebabkan oleh konsumsi pakan yang sangat rendah kualitasnya sehingga rangsangan untuk membangkitkan aktivitas reproduksi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hal ini juga didukung oleh Mothering ability kerbau kuat yang ikut menekan re-estrus postpartum karena penyusunan yang cukup intensif. Pertambahan bobot badan berkisar antara 0,3-0.9 kg/hari dengan presentase karkas yang kurang dari 50% karena disembelih dalam kondisi tanpa penggemukan (Gunawan, 2010).
C.    Masalah Pengembangan Kerbau di Indonesia
Faktor penyebab menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau sdesebabkan faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor internal
Faktor internal ditentukan oleh sifat atau karakteristik dari suatu jenis ternak. Pada kerbau sifat internal yang berpengaruh terhadap kendala peningkatan populasi adalah:
Ø   Masak lambat
Kerbau termasuk hewan yang lambat dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya kerbau mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau mencapai dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun2-3 tahun (Lendhanie, 2005)
Ø  Lama bunting
Kerbau akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300-344 hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Dikemukakan pula oleh Hill (1998) bahw lama bunting pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau kerja, lama buntuing kerbau mesir bervarisi 325-330 hari. Hasil penelitian Landhanie (2005) di Desa Sapala, kecamatan Danau Panggang lama bunting kerbau rawa mencapai 1 tahun.
Ø  Berahi tenang
Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan paa pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini  bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
Ø  Waktu berahi
Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). Menurut Hill (1988) tanda-tanda berahi da kativitas perkawinan pada jkerbau mesir pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di Indonesian sedang berada dalam kandang yang tertutup yang tidak memungkinkan terjadinya perkawinan.
Ø  Jarak beranak yang panjang
Jarak beranak yang panjang merupakan implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada  kerbau keerja jarak beranak bervariasi dari 350-800 haru dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006). Menurut Hill (1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi  dari 334-650 hari. Tyergantung pada manajemen yang dilakukan. Menurut Ladhanie (2005) jaerak beranaka pada kerbau rawa antara 18-24 bulan.
Ø  Beranak pertama
Panjang sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh langsung terhadap beranak pertama pada kerbau. Hasil survei di Indonesia terutama si NAD< Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, NTB dan Dulaweisi Selatan, umur pertama kali beranak masing-masing 45,0; 49,6; 47,7; 49,1; 45,6 dan 49,2 bulan denga rata-rata 47,7 bulan (Keman, 2006), sementara itu di Brebes, Pemalang, semarang dan Pati rata-rata umur pertama kali8 beranak, berturut-turut adalah 44, 40, 44, dan 42 (Keman 2006).
Ø  Faktor eksternal
Diantar faktor eksternal, ada yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi dan ada yang tidak berpengaruh langsung. Reproduksi adalah suatu proses yang rumit pada semua spesies hewan. Rumit karena reproduksi tergantung Pada fungsi yang sempurna proses-proses biokimia dari sebagian besar alat tubuh. Uvilasi, berahi, kebuntingan, kelahiran dan laktasi, itu semua tergntung dari fungsi yang sempurna dari berbagai hormon dan alat tubuh. Setiap abnormalitas dalam anatomi dan fisiologi dari alat reproduksi berakibat fertilitas menurun atau dapat menyebabkan sterilitas. (Anggorodi, 1979).
2.      Faktor eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi adalah ;
Ø  Pakan
Kontribusi pakan sangat kuat pengaruhnya terhadap performa reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduktif (Tillman, et al., 1983).
Peternak kerrbau di negara kita pada dasarnya merupakan peternak tradisional dan merupakan kegiatan yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya didapat pada saat digembalakan. Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawahn atau pinggir-pinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan.
Pakan yang diberikan di kandang pada umumnya jerami kering yang kadang-kadang disiram larutan garam dapur. Pada musim kemarau ketersediaan rumpur alam akan sangat menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh langsung terhadap asupan pakan pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi. Diperparah lagi oleh tugan yang harus dilakukan pada saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu keunggulan kerbau adalah mampu memamfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun untuk mendapatkan performa reproduksi yang baik memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas.
Ø  Manajemen Pemeliharaan
Menurut Setyawan (2010) menyatakan bahwa manajemen pemeliharaan dalam upaya pengembangan kerbau di kabupaten Brebes system pemeliharaannya masih sangat tradisional karena belum ada sentuhan teknologi terpadu baik untuk peningkatan populasi ternak, pengelolaan pakan dan pengetahuan pengelolaan hasil produksi sehingga menyebabkan peningkatan populasi juga tidak berkembang.
Ø  Sosial budaya
Beberapa di daerha di Indonesia yang secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau menunjukkan populasi kerbau yang tingg. Keterkaitannya bis a berupa  dalam adat istiadat atau kebutuhan tenaga kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera  Utara, Sulawesi Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang turun temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti sosial yang sangat khas.
Rumah adat dan perkantoran pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung yang melambangkan bentuk tanduk  kerbau. Diduga kata “minangkabau” berasal dari “menang kerbau” (Hardjosubroto, 2006). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian sepeti saur matua dan mangokal hili. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan pada saat upacara perkawinan, horha bius (acara penghormatan terhadap leluhur, dan pendiri rumah adat (Susilowati, 2008). Bagi etnis toraja, khususnya toraja sa`dan, kerbau adalah binatang paling penting dalam kehidupan sosial mereka (Nooy-Palm, 2003 yang dikutip Stepanus, 2008) selain sabagai hewan yang memenuhi kehidupan sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi lata takaran, status sosial dan alat transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya (Issudarsono, 1979 yang dikutip Stepanus, 2008). Kerbau juga merupakan hewan domestik yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang bermata pencaharian dibidang pertanian.
Di Banten, kerbau selain digunakan sebagai hewan kerja juga masyarakat sangat fanatik terhadap daging kerbau. Menurut Patheram dan Liem (1982) selera masyarakat banten terhadap daging kerbau cukup tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih pada kebutuhan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa budaya masyarakat sangat berperan terhadap perkembangan populasi kerbau.
Populasi kerbau di Indonesia terdapat di seluruh provinsi, karena kerbau mempunyai daya adapatasi yang sangat tinggi. Kerbau bisa berkembang mulai dari daerah kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur di Jawa hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan daerah pantai Sumatera (Asahan sampai Palembang). Selain itu pengembangannya  tidak akan menghadapi hambatan selera, budaya da agama (Triwulanningsih).
D.    Usaha-Usaha Mempercepat Peningkatan Populasi Dan Kualitas Kerbau
Banyak faktor yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas kerbau diantaranya adalah:
1.      Mengupayakan terbentuknya village breeding system (VBC) yang secara khusus mengupayakan pengembangan kerbau.
2.      Mengadakan upaya recording serta seleksi kerbau berdasarkan performa dan asal usul ternak dengan cara penjaringan ternak yang baik berdasarkan standarisasi.
3.      Penerapan teknologi, khusunya untuk mengolah limbah pertanian (jerami padi, pucuk tebu, jerami jagung, jerami kedelai).
4.      Komitmen yang berkelanjutan. Penurunan populasi kerbau di daerah-daerah tertentu sudah lama terjadi, namun sampai sejauh ini dorongan pemerintah, terutama pemerintah  daerah belum nyata mendorong perkembangan populasi di daerahnya masing-masing. Tidak sedikit peternak kerbau berlokasi jauh dari pusat pemerintah sehingga banyak yang tidak tersentuh oleh laju pembangunan. Fasilitas untuk peningkatan populasi baik software maupun hardware belum sampai ketangan peternak kerbau. Peternak kerbau seolah berjalan sendiri tanpa tahu kemana tujuanya.
5.      Pembentukan kelompok ternak. Memungkinkan dapat mendorong peningkatan populasi. Dalam kelompok para peternak bisa merencanakan usaha yang akan dilakukan sehubungan dengan peningkatan populasi, termaksud terbentuknya kandang kelompok. Kandang kelompok bila dikelola dengan baik dengan kesadaran yang tinggi dapat memecahkan masalah ketiadaan jantan dan keterlambatan perkawinan.
6.      Melakukan seleksi, baik pada kerbau betina maupaun pada kerbau jantan, terutama pada kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor betina dan bila semua berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang genetikanya baik. Pada saat ini justru kerbau betina atau jantan yang tampilanya lebih besar adalah yang paling cepat masuk rumah potong. Peran pemerintah disini melakukan penjaringan agar fenomena yang sudah lama terjadi ini akan dihentikan minimal dikurangi.
7.      Peternak yang memiliki kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan dengan memberikan sertifikat. Hal ini bisa merangsang prestasi selanjutnya dan akan berpengaruh positif terhadap lingkungan.
8.      Mengembangkan program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya. Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk mengatasi terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat dipertanggungjawabkan (SUBIYANTO, 2010) peran pemerintah harus mengangtifkan kembali produksi mani beku kerbau di balai-balai inseminasi buatan. Dengan inseminasi buatan juga dapat mencegah terjadinya kawin silang dalam.
9.      Peningkatan pendidikan inseminator. Inseminator buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang saat berahinya sulit diamati. Meskipun demikian kita bila kita mau kita bisa. Pengalaman telah menunjukkan bahwa beberapa tahun yang lalu pada sapi potong, yang pada saat itu sulit melakukan inseminasi buatan pada sapi potong karena sapi potong  terutama sapi lokal juga memperlihatkan berahi tenang. Pada saat ini meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para inseminator inseminasi buatan pada sapi potong sudah bisa dilakukan dengan prestasi yang baik.
10.  Lokasi peternak kerbau yang umumnya masih berjauhan, akan menyulitkan pelaksanaan inseminasi buatan. Seorang inseminator mungkin saja melayani peternak yang jaraknya dari pos bisa belasan kilometer. Dalam rangka mempercepat peningkatan populasi maka program sinkronisasi birahi waktu pelaksanaan dan jumlah yang akan diinseminasi bisa diatur dan fasilitas inseminasi bisa lebih efisien. Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi butan dan meningkatkan fertilitas .
11.  Untuk meningkatkan mutu genetic kerbau di suatu wilayah, bisa dilakukan dengan membeli pejantan unggul hasil seleksi dari wilayah lain atau menggunakan pejantan IB persilang dengan tipe perah juga bisa dilakukan dengan harapan keturunanya bisa menghasilkan susu yang lebih banyak, minimal bisa memberi susu keturunanya dalam jumlah yang mencukupi.



III.             PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Masalah pengembangan peningkatan populasi kerbau di Indonesia di sebabkan oleh beberapa factor antara lain factor internal yang merupakan factor dari ternak itu sendiri yang meliputi Masak lambat, Lama bunting, Berahi tenang, Waktu berahi, Jarak beranak yang panjang, Beranak pertama, dan faktur eksternal yang meliputi pakan, manajemen pemelihararaan, sosial budaya.
2.      Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi kerbau di Indonesia yaitu dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti membentuk village breeding system, Komitmen yang berkelanjutan, Pembentukan upaya recording ternak, penerapan teknologi khusunya , kelompok ternak, Melakukan seleksi, Peternak yang memiliki kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan, Mengembangkan program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya, Peningkatan pendidikan inseminator, Penggunaan teknik sinkronisasi birahi,dan persilangan.


DAFTAR PUSTAKA

Ditjennak, 2004. Dalam http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1 =2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+.

Gunawan, dkk. 2010. Kebijakan Pengembangan Pembibitan Kerbau Mendukung swasembada Daging Sapi/Kerbau. Seminar Lokakarya  Nasional Kerbau 2010. Pustlitbang Peternakan, Bogor.

Keman, S. 2006. Reproduksi ternak kerbau.  Menyongsong rencana kecukupan daging tahun 2010. Pros. Orasi dan sSeminar Pelepasan dosen purna tugas 2006. Fakultas peterenakan. UGM. Yogyakarta.

Lendhanie, UU. 2005. Karakteristik Reproduksi kerbau rawa dalam  kondisi lingkungan peternakan Rakyat Bioscientiae, 2.(1) http:/ Bioscientiae.tripod.com

Rusastra, I.W. 2011. Kinerja industri peternakan: isu dan kebijakan antisipatif peningkatan produksi dan daya saing. Makalah presentase dalam lokakarya RPJP Pustlitbang Peternkan pada 27 januari 2011, Bogor 

Talib, C. 2010. Peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di padang ppenggembalaan tradisional. Pros. Semiloka Kerbau Nasional di Brebes, Jateng. 2009. Pustlitbang Peternakan Bogor. Hlm. 109-118.

Stepanus B. 2008. Kerbau tradisi orang toraja. http://www.google.co.id/kerbau+dalam.

Setyawan . 2010. Perkembangan Program Aksi Pembibitan Ternak Kerbau di Kabupaten Brebes. . Seminar Lokakarya  Nasional Kerbau. 2010 Dinas Peternakan Kabupaten Brebes.



Subiyanto. 1010. Populasi Kerbau semakin menurun. http:/www.dijennak.go.id/bulletin.artikel3.pdf

Tillman, dkk. 1982. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadja Mada University oress, Fakultas Peternakan,. UGM. Jogjakarta 




Toilehere, MR. 2001./ Potensi dan pengembangan kerbau di Indonesia. Suatu tinjauan reproduksi. Workshop kebijakan ketahanan pangan kerbau sebagai sumber keanekaragaman protein hewani. Kerjasama pustlitbang peternakan dan dinas pertanian peternakan provinsi Bnnaten, Cilegon.