I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kerbau merupakan ternak
ruminansia yang paling besar bagi masyarakat Indonesia. Kerbau memiliki
keunggulan tersendiri untuk dikembangkan karena dapat -bertahan hidup dengan
kualitas pakan rendah, toleran terhadap parasit dan keberadaannya telah menyatu
sedemikian rupa dengan kehidupan sosial dan budaya petani di Indonesia. Peran
dan fungsi ternak kerbau di Indonesia yang paling utama adalah dalam hal 4
yaitu : (1) ikut berpartisipasi dalam ketahanan pangan hewani (2) menjadikan
pengambangan usaha tani ternak yang lebih tangguh dan tahan terhadap krisis
moneter, (3) untuk keperluan sosial budaya dan kepercayaan masyarakat lokal
serta (4) sebagai komoditas agrowisata.
Kerbau dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai,
dan yang berkembang di Indonesia kebanyakan adalah kerbau rawa/lumpur.
Di masa lalu peran
kerbau sangat berarti, khususnya bagi petani karna sangat membantu pada saat
mengolah lahan sawah yang berlumpur yang kurang disukai oleh hewan kerja lain, dan
juga merupakan sumber pangan (daging dan susu) . demikian berartinya jenis
hewan ini sehingga pada awalnya populasi kerbau dari tahun ketahun merangkak
naik. Menurut Afiyati dan Fauziah, populasi kerbau di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 1925 yaitu sebanyak 3,3 juta ekor. Setelah itu terjadi
fluktuasi jumlah yang umumnya cenderung menurun, yang diakibatkan oleh beberapa
faktor antara lain; para petani kini tidak lagi menggunakan jasa kerbau dalam mengolah sawahnya karena mereka
cenderung menggunakan teknologi yang dapat mempercepat proses pekerjaan mereka
seperti alat traktor dll., efisiensi reproduksi dari ternak sangat lambat.
Meskipun begitu ada beberapa daerah tertentu yang meningkat biasanya
dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dari masyarakat tertentu.
Faktor dominan
terjadinya penurunan populasi disebabkan kurangnya pengetahuan peternak kerbau
mengenai ilmu dan teknologi reproduksi. Seperti yang dikemukakan oleh Toilehere
(2010) bahwa ilmu dan teknologi reproduksi merupakan faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam usaha
dan peningkatan produksi dan produktifitas kerbau.
Selain penerapan ilmu
dan teknologi reproduksi pada kerbau juga harus
dipadukan dengan kondisi lingkungan dan ekosistem daerah
yang bersangkutan, pola atau ekosistem beternak, manajemen, latar belakang
budaya masyarakat setempat dengan motif sosial ekonomi beternak. Selain itu banyak factor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas ternak
kerbau yang dipengaruhi oleh factor internal maupun factor eksternal. Oleh
sebab itu pengembangan kerbau di Indonesia merupakan tugas pemerintah bersama
masyarakat veteriner untuk tetap melestrikan keberadaan kerbau di Indonesia
agar tetap ada.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah
ini yaitu :
1. Apa
yang menjadi masalah pengembangan kerbau di Indonesia?
2. Bagaimana
solusi untuk mengatasi masalah pengembangan kerbau di Indonesia?
II.
PEMBAHASAN
Gambar Kerbau Rawa
Gambar Kerbau Sungai
A.
Peternakan
Kerbau di Indonesia
Di
Indonesia kerbau telah berkembang sejak dahulu. Dimana telah tersebar di seluruh
Indonesia termasuk Sulawesi. Kerbau yang berasal di
Indonesia didominasi oleh kerbau lumpur dengan jumlah populasi sekitar 2 juta
ekor dan kerbau perah terdapat 5 ribu ekor. Kerbau-kerbau tersebut dipelihara
oleh peternak kecil. Untuk kerbau lumpur dengan pemeliharaan secara tradisional
dengan jumlah kepemilikan 2-3 ekor induk peternak, sedangkan kerbau perah
dipelihara atau digembalakan secara berkelompok pada areal sekitar para
peternak berdiam. Walaupun demikian pada beberapa tempat tertentu terdapat
kepemilikan dalam jumlah besar sepeti di pulau Moa (Maluku), Sumba (NTT), dan
Sumbawa (NTB) dimana jumlah kepemilikan kerbau per peternak sapat mencapai 100
ekor per induk. Dengan majunya otonomi daerah dan adanya permentan tentang
penetapan SDG (sumber daya genetik) ternak lokal maka beberapa daerah mengklaim
kerbau-kerbau lumpur yang ada di daerahnya untuk ditetapkan sebagai bangsa atau
sub bangsa kebau di Indonesia kerana kemampuan adaptasinya pada lingkungan tertentu
yang cukup berbeda dengan kawasan
kerbau lainnya di Indonesia seperti kerbau Sumbawa (NTB), dan kerbau Moa
(Maluku) yang diusulkan oleh daerah masing-masing untuk ditetapkan sebagai
rumpun kerbau yang adaptif pada kondisi daerah spesifik pada iklim mikro
masing-masing. (Rusastra, 2011)
Kerbau
memiliki beberapa peranan utama secara nasional yaitu sebagai penghasil daging
yang mendukung program pemerintah dalam hal swasembada daging selain daging
sapi. Secara khusus kerbau dijadikan sebagai tenaga kerja bagi masyarakat bagi
para petani dan tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dijual apabila
diperlukan, selain itu kerbau dijadikan sebagai ternak yang digunakan dalam
beberapa kegiatan upacara adat dan keagamaan bagi masyarakat tertentu. Peran ini ikut menentukan perkembangan
populasi kerbau di Indonesia.
Produktifitas dari ternak kerbau dapat ditingkatkan dengan manajamen
pemeliharaan yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya jual dari ternak
tersebut untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Demikian pula jika kebutuhan berlaku secara
efektif sesuai yang dibutuhkan peternak maka tentu existensi kerbau akan terus
dipertahankan. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi maka tentulah populasi
kerbau akan menurun, karena kebutuhan tentu driveb
by market and farmers need. Populasi kerbau tidak akan menurun jika ada
nilai tambah yang dilakukan
dan berdampak nyata secara ekonomi bagi perbaikan penghasilan para peternak
(Rusastra, 2011).
Ciri petenakan kerbau
yang mendominasi keragaman usaha ternak kerbau di Indonesia, identik dengan
ketergantungan pada pakan serat alami antara lain; rumput alam, jerami,
berbagai tanaman pangan dan holtikultura serta perkebunan dengan skala usaha
antara 2-3 unit ternak. Kerbau ini dapat digembalakan secara terus menerus
maupun hanya digembalakan pada siang hari (Talib 2010) dan dikandangka.
Kuswandi (2011) dan Prawiradigdo et, al
(2010) mengatakan bahwa pakan seperti
ini umumnya
rendah kualitasnya sehingga membutuhkan teknologi pengkayaan nutrisi untuk
meningkatkan kualitas nilai gizinya, apalagi kalau ditambah dengan masalah
pemberian pakan dalam jumlah yang tidak mencukupi, maka produktivitas kerbau
akan sangat
sulit diperoleh.
Sepuluh provinsi di Indonesia
dengan jumlah kerbau terbanyak
Provinsi
|
Tahun
|
||||
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
|
Nanggro Aceh Darussalam
|
409,071
|
338,272
|
371,143
|
390,334
|
280,662
|
Sumatera Utara
|
263,435
|
259,672
|
261,794
|
189,167
|
155,341
|
Sumatera Barat
|
322,692
|
201,421
|
211,531
|
192,148
|
196,854
|
Sumatera Selatan
|
86,528
|
90,300
|
86,777
|
90,160
|
77,271
|
Banten
|
139,707
|
135,041
|
146,453
|
144,944
|
153,004
|
Jawa Barat
|
149,960
|
148,003
|
149,444
|
149,030
|
145,847
|
Jawa Tengah
|
122,482
|
123,815
|
112,963
|
109,004
|
102,591
|
NTB
|
156,792
|
154,919
|
155,166
|
153,822
|
161,450
|
NTT
|
136,966
|
139,592
|
142,257
|
144,981
|
148,772
|
Sulawesi Selatan
|
161,504
|
124,760
|
129,565
|
120,003
|
130,109
|
Sumber :
http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1=2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+
B. Produktivitas Kerbau
Kerbau adalah
ternak Asia yang beradaptasi dihampir semua negara Asia, dimana pada Asia
Tenggara yang paling banyak populasinya adalah kerbau lumpur, sedangkan di Asia
Timur adalah kerbau perah. Indonesia yang terletak di Asia Tenggara juga
didominasi oleh kerbau lumpur. Umur beranak pertama adalah berkisar antara
3,5-4 tahun, dengan
lama kebuntingan silaporkan 11-12 bulan. Jarak beranak antara 20-24 bulan yang
termasuk rendah dan umumnya disebabkan oleh konsumsi pakan yang sangat rendah
kualitasnya sehingga rangsangan
untuk membangkitkan aktivitas reproduksi membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Hal ini juga didukung oleh Mothering ability kerbau kuat yang ikut menekan
re-estrus postpartum karena penyusunan yang cukup intensif. Pertambahan bobot
badan berkisar antara 0,3-0.9 kg/hari dengan presentase karkas yang kurang dari
50% karena disembelih dalam kondisi tanpa penggemukan (Gunawan, 2010).
C.
Masalah
Pengembangan Kerbau di Indonesia
Faktor penyebab
menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di
negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau sdesebabkan faktor
internal dan faktor eksternal.
1.
Faktor internal
Faktor internal
ditentukan oleh sifat atau karakteristik dari suatu jenis ternak. Pada kerbau
sifat internal yang berpengaruh terhadap kendala peningkatan populasi adalah:
Ø
Masak
lambat
Kerbau termasuk
hewan yang lambat dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya
kerbau mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau mencapai
dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun. 2-3 tahun (Lendhanie,
2005)
Ø Lama bunting
Kerbau akan
mengandung anaknya selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut
Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300-344 hari (rata-rata
310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Dikemukakan pula oleh Hill (1998)
bahw lama bunting pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau
kerja, lama buntuing kerbau mesir bervarisi 325-330 hari. Hasil penelitian
Landhanie (2005) di Desa Sapala, kecamatan Danau Panggang lama bunting kerbau
rawa mencapai 1 tahun.
Ø Berahi tenang
Tanda-tanda
berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini
menyulitkan paa pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun
fenomena ini bisa diatasi dengan
menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang
terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
Ø Waktu berahi
Umumnya berahi
pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai agak malam den menjelang
pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). Menurut Hill (1988)
tanda-tanda berahi da kativitas perkawinan pada jkerbau mesir pada umumnya
terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di
Indonesian sedang berada dalam kandang yang tertutup yang tidak memungkinkan
terjadinya perkawinan.
Ø Jarak beranak yang
panjang
Jarak beranak
yang panjang merupakan implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada kerbau keerja jarak beranak bervariasi dari
350-800 haru dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006). Menurut Hill (1988) jarak
beranak pada kerbau bervariasi dari
334-650 hari. Tyergantung pada manajemen yang dilakukan. Menurut Ladhanie
(2005) jaerak beranaka pada kerbau rawa antara 18-24 bulan.
Ø Beranak pertama
Panjang
sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh langsung terhadap beranak pertama
pada kerbau. Hasil survei di Indonesia terutama si NAD< Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa timur, NTB dan Dulaweisi Selatan, umur pertama kali beranak
masing-masing 45,0; 49,6; 47,7; 49,1; 45,6 dan 49,2 bulan denga rata-rata 47,7
bulan (Keman, 2006), sementara itu di Brebes, Pemalang, semarang dan Pati
rata-rata umur pertama kali8 beranak, berturut-turut adalah 44, 40, 44, dan 42 (Keman 2006).
Ø Faktor eksternal
Diantar faktor
eksternal, ada yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi dan ada
yang tidak berpengaruh langsung. Reproduksi adalah suatu proses yang rumit pada
semua spesies hewan. Rumit karena reproduksi tergantung Pada fungsi yang
sempurna proses-proses biokimia dari sebagian besar alat tubuh. Uvilasi,
berahi, kebuntingan, kelahiran dan laktasi, itu semua tergntung dari fungsi
yang sempurna dari berbagai hormon dan alat tubuh. Setiap abnormalitas dalam
anatomi dan fisiologi dari alat reproduksi berakibat fertilitas menurun atau
dapat menyebabkan sterilitas. (Anggorodi, 1979).
2.
Faktor eksternal
Faktor eksternal
yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi adalah ;
Ø Pakan
Kontribusi pakan
sangat kuat pengaruhnya terhadap performa reproduksi. Makanan berperan penting
dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduktif (Tillman, et al., 1983).
Peternak kerrbau
di negara kita pada dasarnya merupakan peternak tradisional dan merupakan
kegiatan yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya didapat pada saat
digembalakan. Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawahn atau
pinggir-pinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan.
Pakan yang
diberikan di kandang pada umumnya jerami kering yang kadang-kadang disiram
larutan garam dapur. Pada musim kemarau ketersediaan rumpur alam akan sangat
menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh langsung terhadap asupan
pakan pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan
berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi. Diperparah lagi oleh tugan
yang harus dilakukan pada saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu
keunggulan kerbau adalah mampu memamfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun
untuk mendapatkan performa reproduksi yang baik memerlukan makanan yang cukup,
baik kualitas maupun kuantitas.
Ø Manajemen
Pemeliharaan
Menurut
Setyawan (2010) menyatakan bahwa manajemen pemeliharaan dalam upaya
pengembangan kerbau di kabupaten Brebes system pemeliharaannya masih sangat
tradisional karena belum ada sentuhan teknologi terpadu baik untuk peningkatan
populasi ternak, pengelolaan pakan dan pengetahuan pengelolaan hasil produksi
sehingga menyebabkan peningkatan populasi juga tidak berkembang.
Ø Sosial budaya
Beberapa di
daerha di Indonesia yang secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau
menunjukkan populasi kerbau yang tingg. Keterkaitannya bis a berupa dalam adat istiadat atau kebutuhan tenaga
kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang
turun temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti sosial yang sangat khas.
Rumah adat dan
perkantoran pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung yang melambangkan
bentuk tanduk kerbau. Diduga kata
“minangkabau” berasal dari “menang kerbau” (Hardjosubroto, 2006). Pada
masyarakat Batak dikenal upacara kematian sepeti saur matua dan mangokal hili.
Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran
adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan pada
saat upacara perkawinan, horha bius (acara penghormatan terhadap leluhur, dan
pendiri rumah adat (Susilowati, 2008). Bagi etnis toraja, khususnya toraja
sa`dan, kerbau adalah binatang paling penting dalam kehidupan sosial mereka
(Nooy-Palm, 2003 yang dikutip Stepanus, 2008) selain sabagai hewan yang
memenuhi kehidupan sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga
menjadi lata takaran, status sosial dan alat transaksi. Dari sisi sosial,
kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya (Issudarsono, 1979
yang dikutip Stepanus, 2008). Kerbau juga merupakan hewan domestik yang sering
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang bermata pencaharian dibidang
pertanian.
Di Banten,
kerbau selain digunakan sebagai hewan kerja juga masyarakat sangat fanatik
terhadap daging kerbau. Menurut Patheram dan Liem (1982) selera masyarakat
banten terhadap daging kerbau cukup tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih pada kebutuhan tenaga kerja. Hal
ini menunjukkan bahwa budaya masyarakat sangat berperan terhadap perkembangan
populasi kerbau.
Populasi kerbau
di Indonesia terdapat di seluruh provinsi, karena kerbau mempunyai daya
adapatasi yang sangat tinggi. Kerbau bisa berkembang mulai dari daerah kering
di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur di Jawa hingga lahan rawa di
Sulawesi Selatan, Kalimantan dan daerah pantai Sumatera (Asahan sampai
Palembang). Selain itu pengembangannya
tidak akan menghadapi hambatan selera, budaya da agama (Triwulanningsih).
D.
Usaha-Usaha
Mempercepat Peningkatan Populasi Dan Kualitas Kerbau
Banyak faktor
yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas kerbau diantaranya adalah:
1. Mengupayakan terbentuknya village breeding system
(VBC) yang secara khusus mengupayakan pengembangan kerbau.
2. Mengadakan upaya recording serta seleksi kerbau berdasarkan
performa dan asal usul ternak dengan cara penjaringan ternak yang baik
berdasarkan standarisasi.
3. Penerapan teknologi, khusunya untuk mengolah limbah
pertanian (jerami padi, pucuk tebu, jerami jagung, jerami kedelai).
4. Komitmen
yang berkelanjutan. Penurunan populasi kerbau di daerah-daerah tertentu sudah
lama terjadi, namun sampai sejauh ini dorongan pemerintah, terutama
pemerintah daerah belum nyata mendorong
perkembangan populasi di daerahnya masing-masing. Tidak sedikit peternak kerbau
berlokasi jauh dari pusat pemerintah sehingga banyak yang tidak tersentuh oleh
laju pembangunan. Fasilitas untuk peningkatan populasi baik software maupun
hardware belum sampai ketangan peternak kerbau. Peternak kerbau seolah berjalan
sendiri tanpa tahu kemana tujuanya.
5. Pembentukan
kelompok ternak. Memungkinkan dapat mendorong peningkatan populasi. Dalam kelompok para peternak bisa merencanakan
usaha yang akan dilakukan sehubungan dengan peningkatan populasi, termaksud
terbentuknya kandang kelompok. Kandang kelompok bila dikelola dengan baik
dengan kesadaran yang tinggi dapat memecahkan masalah ketiadaan jantan dan
keterlambatan perkawinan.
6. Melakukan
seleksi, baik pada kerbau betina maupaun pada kerbau jantan, terutama pada
kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor
betina dan bila semua
berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang genetikanya baik. Pada saat
ini justru kerbau betina atau jantan yang tampilanya lebih besar adalah yang
paling cepat masuk rumah potong. Peran pemerintah disini melakukan penjaringan
agar fenomena yang sudah lama terjadi ini akan dihentikan minimal dikurangi.
7. Peternak
yang memiliki kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat
penghargaan dengan memberikan sertifikat. Hal ini bisa merangsang prestasi
selanjutnya dan akan berpengaruh positif terhadap lingkungan.
8. Mengembangkan
program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya.
Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk
mengatasi terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat
dipertanggungjawabkan (SUBIYANTO, 2010) peran pemerintah harus mengangtifkan
kembali produksi mani beku kerbau di balai-balai inseminasi buatan. Dengan
inseminasi buatan juga dapat mencegah terjadinya kawin silang dalam.
9. Peningkatan
pendidikan inseminator. Inseminator buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah
untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang
saat berahinya sulit diamati. Meskipun demikian kita bila kita mau kita bisa.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa beberapa tahun yang lalu pada sapi potong,
yang pada saat itu sulit melakukan inseminasi buatan pada sapi potong karena
sapi potong terutama sapi lokal juga
memperlihatkan berahi tenang. Pada saat ini meningkatnya pengetahuan dan
keterampilan para inseminator inseminasi buatan pada sapi potong sudah bisa
dilakukan dengan prestasi yang baik.
10. Lokasi
peternak kerbau yang umumnya masih berjauhan, akan menyulitkan pelaksanaan
inseminasi buatan. Seorang inseminator mungkin saja melayani peternak yang
jaraknya dari pos bisa belasan kilometer. Dalam rangka mempercepat peningkatan
populasi maka program sinkronisasi birahi waktu pelaksanaan dan jumlah yang
akan diinseminasi bisa diatur dan fasilitas inseminasi bisa lebih efisien.
Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi
produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi
pelaksanaan inseminasi butan dan meningkatkan fertilitas .
11. Untuk
meningkatkan mutu genetic kerbau di suatu wilayah, bisa dilakukan dengan
membeli pejantan unggul hasil seleksi dari wilayah lain atau menggunakan
pejantan IB persilang dengan tipe perah juga bisa dilakukan dengan harapan
keturunanya bisa menghasilkan susu yang lebih banyak, minimal bisa memberi susu
keturunanya dalam jumlah yang mencukupi.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Masalah pengembangan peningkatan populasi kerbau di
Indonesia di sebabkan oleh beberapa factor antara lain factor internal yang merupakan
factor dari ternak itu sendiri yang meliputi Masak
lambat, Lama bunting, Berahi tenang, Waktu berahi, Jarak beranak yang
panjang, Beranak pertama, dan faktur eksternal yang meliputi pakan, manajemen
pemelihararaan, sosial budaya.
2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
populasi kerbau di Indonesia yaitu dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti
membentuk village breeding system, Komitmen yang
berkelanjutan, Pembentukan
upaya recording ternak, penerapan teknologi khusunya ,
kelompok
ternak, Melakukan seleksi, Peternak yang memiliki
kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan, Mengembangkan program inseminasi
buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya, Peningkatan pendidikan
inseminator, Penggunaan
teknik sinkronisasi birahi,dan
persilangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjennak, 2004. Dalam http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1 =2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+.
Gunawan, dkk. 2010. Kebijakan Pengembangan Pembibitan
Kerbau Mendukung swasembada Daging Sapi/Kerbau. Seminar Lokakarya Nasional Kerbau 2010. Pustlitbang Peternakan,
Bogor.
Keman, S. 2006. Reproduksi ternak kerbau. Menyongsong rencana kecukupan daging tahun
2010. Pros. Orasi dan sSeminar Pelepasan dosen purna tugas 2006. Fakultas
peterenakan. UGM. Yogyakarta.
Lendhanie, UU. 2005. Karakteristik Reproduksi kerbau
rawa dalam kondisi lingkungan peternakan
Rakyat Bioscientiae, 2.(1) http:/ Bioscientiae.tripod.com
Rusastra, I.W. 2011. Kinerja industri peternakan: isu
dan kebijakan antisipatif peningkatan produksi dan daya saing. Makalah
presentase dalam lokakarya RPJP Pustlitbang Peternkan pada 27 januari 2011,
Bogor
Talib, C. 2010. Peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di padang ppenggembalaan tradisional. Pros. Semiloka Kerbau Nasional di Brebes, Jateng. 2009. Pustlitbang Peternakan Bogor. Hlm. 109-118.
Talib, C. 2010. Peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di padang ppenggembalaan tradisional. Pros. Semiloka Kerbau Nasional di Brebes, Jateng. 2009. Pustlitbang Peternakan Bogor. Hlm. 109-118.
Setyawan . 2010. Perkembangan Program Aksi Pembibitan
Ternak Kerbau di Kabupaten Brebes. . Seminar Lokakarya Nasional Kerbau. 2010 Dinas Peternakan
Kabupaten Brebes.
Subiyanto. 1010. Populasi Kerbau semakin menurun. http:/www.dijennak.go.id/bulletin.artikel3.pdf
Tillman, dkk. 1982. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadja Mada University oress, Fakultas Peternakan,. UGM. Jogjakarta
Tillman, dkk. 1982. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadja Mada University oress, Fakultas Peternakan,. UGM. Jogjakarta
Toilehere, MR. 2001./ Potensi dan pengembangan kerbau
di Indonesia. Suatu tinjauan reproduksi. Workshop kebijakan ketahanan pangan
kerbau sebagai sumber keanekaragaman protein hewani. Kerjasama pustlitbang
peternakan dan dinas pertanian peternakan provinsi Bnnaten, Cilegon.